Tuesday, February 12, 2008

A SKRIPSI OR A THESIS ?

Kalau anda bertanya apa yang paling mengesankan buat saya selama kiliah di FKIP Universitas Mataram, jawaban saya pasti salah satunya menulis skripsi. Kok bisa ? Biasanya bagi kebanyakan orang, menulis itu tidak begitu menyenangkan apalagi menulis sesuatu dengan ilmiah seperti skripsi. Ya, saya kira begitu. Tapi yang ini lain. Yang satu ini sangat spesial paling tidak buat saya pribadi. Selain yang mau menulis skripsi waktu itu hanya segelintir mahasiswa, skripsi saya tersebut mungkin bisa menjadi karya ilmiah yang paling 'monumental' sepanjang sejarah perskripsian di kampus putih tersebut.

Sudah sangat lazim tentunya bagi setiap mahasiswa yang baru belajar menulis ilmiah atau mau menulis skripsi untuk selalu melihat atau mempelajari model-model skripsi yang telah ditulis oleh kakak-kakak tingkat kita sebelumnya. Biasanya dari melihat-lihat atau sekedar membaca judul skripsi itu kita mendapatkan ide untuk meneliti sesuatu yang baru yang kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan skripsi. Maka suatu ketika saya datanglah ke perpustakaan untuk membongkar koleksi berbagi jenis skripsi tersebut. Karena jurusan saya bahasa Inggris, maka skripsi-skripsi yang ditulis dalam bahasa Indonesia saya singkirkan. Saya hanya mengumpulkan skripsi-skripsi yang ditulis dalam bahasa Inggris. Selanjutnya setiap kali saya membuka skripsi-skripsi itu saya selalu mulai dengan membaca halaman judulnya. Saya berharap dengan membaca judul-judul skripsi tersebut saya bisa memporoleh inspirasi baru untuk menentukan bidang apa yang mau saya teliti atau tulis.

Harapan saya terkabul setelah berminggu-minggu saya 'mengobrak abrik' tumpukan skripsi-skripsi itu. Sebuah skripsi dengan judul "A Descriptive Study on Students' Errors in Pronuncing Fricative Consonants in English" tulisan Nasyirul Khairi telah menginspirasikan saya untuk meneliti hal yang hampir sama. Kalau Nasyirul Kahiri memfokuskan penelitiannya pada kesalahan mengucapkan konsonan-konsonan frikatif dalam bahasa Inggris maka saya menyoroti kesalahan menggunakan 'copula' dalam bahasa Inggris tertulis. Filosfi yang menadasari hal tersebut tidak berbeda, sama-sama berangkat dari sebuah asumsi Fries dan Lado dalam melihat bagaimana bahasa yang satu dan yang lainnya saling mempengaruhi [language interference].

Singkat cerita, mulailah saya meneliti dan menulis dengan modal yang sangat terbatas-baik modal finasial maupun modal ilmu tentang penelitian dan penulisan ilmiah. Dari pembuatan proposal hingga pelaksanaan penelitian, saya hampir tidak menemukan masalah yang berarti. Saya selalu bisa melewatinya dengan suasana yang cukup menyenangkan. Apa yang saya tuangkan dalam konsep rencana penelitian tersebut selalu mendapat persetujuan dari ketiga dosen pembimbing saya. Demikian pula dengan proses ijin penelitian dan pelaksanaannya.

Tapi perasaan menyenangkan ini tidak bertahan begitu lama. Masalah mulai muncul ketika penulisan laporan hasil penelitian yang diwujudkan dalam bentuk skripsi tersebut mulai saya kerjakan. Ketika saya datang untuk berkonsultasi dengan dosen pembimbing utama saya, salah satu kata dari judul skripsi tersebut harus diubah. Kata yang tadinya tertulis ‘THESIS’ harus diganti dengan ‘SKRIPSI’. Pada mulanya saya sangat keberatan karena semua skripsi kakak-kakak tingkat saya di FKIP yang sudah pernah saya baca saat itu selalu menyebut skripsi dengan ‘thesis’. Tak satupun dari skripsi-skripsi itu bertuliskan A SKRIPSI di halaman sampul atau judulnya, tetapi selalu ditulis A THESIS. Fakta ini saya sampaikan kepada dosen pembimbing utama saya tersebut tetapi beliau tetap bersikeras meminta saya untuk menggantikannya padahal saya juga sudah menjelaskan kalau ‘skripsi’ itu kata dalam bahasa Indonesia, bukan bahasa Inggris.

Ketika draf skripsi saya tersebut telah jadi dan siap diujikan, saya kembali datang kepada dosen pembimbing utama saya tersebut untuk melakukan konsultasi untuk kesekian kalinya. Bagian judul tidak saya ubah karena mustahil bagi saya untuk menuliskan A SKRIPSI di halaman karya tulis saya yang berbahasa inggris tersebut. Tapi kenekatan saya itu menjadi bumerang bagi saya. Beliau mengancam tidak akan pernah mau menandatangani skripsi tersebut jika kata A THESIS masih juga dicantumkan dalam karya tulis tersebut walaupun semua skripsi berbahasa Inggris kakak-kakak tingkat saya di FKIP yang pernah saya baca waktu itu dinamakan A THESIS. Dalam kondisi terpojok saya juga belum mau menyerah walaupun ketika berhadapan dengan beliau saya mengatakan kalau kata tersebut akan saya ganti dengan A SKRIPSI.

Sebenarnya saya sudah tau kalau ‘thesis’ itu diperuntukkan sebagai persyaratan kelulusan mahasiswa pada program paska sarjana tapi saya juga tidak tahu pasti apa istilah bahasa Inggris yang paling tepat untuk menggantikan skripsi tersebut. Dosen pembimbing utama saya juga tidak memberikan alternatif lain selain A SKRIPSI. Demikian pula dengan pembimbing yang lainnya yang cenderung mengiyakan apa yang disampaikan oleh dosen pembimbing utama saya. Karena tidak punya pilihan lain akhirnya jadilah karya tulis itu dinamakan A SKRIPSI bukan A THESIS atau A … yang lainnya. Inilah karya saya yang paling monumental dalam pekerjaan menulis yang pernah saya lakukan. Bagimana kawan-kawan lainnya ? Mungkian ada pengalaman menarik soal ini ?

Thursday, February 07, 2008

ETC DAN MASA DEPANNYA - Bagian 1



A. PENGANTAR
Setelah lebih dari setengah dekade menjadi bagian dari sebuah sistem per-ETC-an dengan berbagai kegiatan, masalah dan tantangan yang dihadapinya, diskursus tentang tugas, fungsi dan peran serta masa depan ratusan ETC [baca : English Testing Center] di Indonesia patut kiranya didiskusikan. Penggantian nama dan fungsi ETC menjadi SPT sejak setahun yang lalu tentu memunculkan berbagai pertanyaan. Tidak cukup signifikankah keberadaan dan peran yang dimainkan oleh ETC dalam mewarnai sistem pembelajaran bahasa Inggris kita selama ini ? Seperti apakah sebaiknya ETC ini dikembangkan seiring dengan diterapkannya kebijakan baru pemerintah dalam sistem pendidikan nasional kita ?

B. ETC LEBIH DARIPADA SEKEDAR PUSAT PENGUJIAN BAHASA INGGRIS
Sejak pendirian ETC resmi dideklarasikan pada tanggal 21 September 2001 melalui surat Direkur Pendidikan Menengah Kejuruan, Departemen Pendidikan Nasional nomor 1691/c5.6/pp/2001, institusi yang pertama kali ditempatkan dan dijalankan oleh 40 SMK terpilih di seluruh Indonesia tersebut telah mampu melaksanakan tugas dan fungsinya lebih daripada sekedar pusat pengujian bahasa Inggris.

Dari berbagai diskusi yang dilakukan baik secara formal maupun non formal antar koordinator ETC di tanah air yang kini telah mencapai ratusan jumlahnya, menunjukkan bahwa beberapa diantaranya telah mampu memberikan kontribusi yang cukup signifikan tidak hanya bagi sekolah dimana ia berada tetapi juga bagi sekolah-sekolah lainnya, bahkan bagi pemerintah daerah dimana ETC tersebut berada. Kontribusi dimaksud tidak hanya dalam hal pengembangan bahasa Inggris tetapi juga telah mampu menyentuh hal-hal yang berhubungan dengan peningkatan kesejahteraan para guru dan pengelolanya serta pihak-pihak lain yang terlibat di dalamnya walaupun dalam jumlah yang relatif kecil. Lebih jauh daripada itu, dalam hal pengembangan sistem pembelajaran bahasa Inggris, keberadaan ETC selama ini telah mampu menjadi ‘benang’ penghubung antara SMK-SMK di daerah dengan sistem atau subsistem pengambil kebijakan di pemerintah pusat. Dalam tataran pragmatis di luar dari fungsinya sebagai pusat pengujian bahasa Inggris, benang penghubung tersebut sesungguhnya kini telah menjadi sebuah jaringan kerja [baca: networking] antara berbagai subsimpul secara nasional dalam dunia perbahasainggrisan kita bila dilihat dalam perspektif yang luas. Melalui ETC, ratusan guru bahasa Inggris se-Indonesia, personil Depdiknas, PPPGK Sawangan, penyedia layanan tes bahasa Inggris dan berbagai institusi lainnya telah dipertemukan, berdiskusi bahkan bekerja sama dalam melaksanakan berbagai program pengembangan bahasa Inggris di tanah air. Sungguh sebuah potensi yang luar biasa apabila ‘networking’ yang telah dibangun selama lebih dari stengah dekade ini bisa diberdayakan secara optimal. Tentu hal ini sebanding dengan ‘ongkos’ yang telah dikeluarkan untuk itu. Bukankah tidak mudah dan murah untuk membangun sebuah jaringan kerja apalagi untuk level nasional ?

Disamping kontribusi akademis dan non akademis yang sangat signifikan bagi pengembangan sistem pembelajaran bahasa Inggris kita, keberadaan ETC selama ini telah mampu membuka pintu bagi para guru bahasa Inggris di sekitar ETC tersebut berada untuk mengasah baik kemampuan yang terkait dengan tugas mereka sebagai guru maupun untuk pengembangan dirinya secara utuh. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh ETC baik berupa pengujian maupun pelatihan telah mampu memberikan mereka kesempatan untuk berkiprah tidak hanya sebagai instruktur tetapi juga sebagai coordinator, planner, supervisor, promotor, bahkan manajer dari kegiatan-kegiatan yang dilaksanakannya. Melaui peran-peran tersebut, mereka diasah kemampuan mengelola sebuah organisasi dimana hal itu tentu tidak bisa diperoleh apabila yang bersangkutan tidak memiliki wadah untuk hal tersebut.

Singkat kata, ETC selama kurang lebih lima tahun terakhir ini telah mampu memainkan peran yang cukup signifikan dalam sistem pendidikan kita dan oleh karenanya hendaknya ia dilihat tidak hanya sebagai sebuah wadah pengujian dan pelatihan bahasa Inggris belaka namun lebih daripada itu, ETC sesungguhnya adalah perwujudan dari sebuah jaringan kerja pendidikan nasional [baca: national education network] yang bisa saja menjadi aset yang sangat berharga baik bagi pemerintah daerah maupun pusat dalam rangka pengembangan sistem pembelajaran bahasa Inggris khususnya dan pendidikan di Indonesia pada umumnya.

C. PERUBAHAN NAMA DAN FUNGSI ETC
Melihat manfaat baik yang bersifat akademis maupun non akademis yang bisa diperoleh dari keberadaan ETC di tanah air, ‘pemberangusan’ ETC yang dilakukan sendiri oleh institusi yang mendirikannya merupakan sebuah tindakan yang sangat kontraproduktif dan harus ditolak secara bersama-sama. Penggantian nama dan fungsi sebagian besar ETC menjadi Sekolah Pelaksana Tes [SPT] telah menghilangkan esensi dasar pendirian ETC tersebut dan oleh karenanya hal tersebut bertentangan dengan prosedur operasional standar yang telah disepakati secara bersama-sama. Selama kurang lebih satu tahun terakhir ini, SPT yang disuguhkan menjadi pengganti ETC belumlah mampu menunjukkan peran yang lebih baik daripada ketika ia masih berlabel ETC. SPT tidak lebih dan tidak kurang hanya sebagai tempat pelaksanaan tes TOEIC belaka. Instrumen-instrumen pendukungnya, seperti SPO misalnya, tidak merekomendir wadah tersebut untuk berkiprah seperti ETC. Dengan demikian, walaupun ada sebagian dari kita yang ingin memberdayakan peran SPT tersebut seperti yang dimiliki oleh ETC, pengimplementasiannya hampir bisa dipastikan tidak akan bisa berjalan dengan mulus. Mengapa ? Karena SPT tidak memiliki rambu-rambu secara nasional yang mengatur hal tersebut. Sebagian peran yang dimiliki oleh ETC seperti pelatihan misalnya bisa saja dilaksanakan oleh SPT namun hanya berlaku bagi SPT itu saja dan legalitasnya tentu dipertanyakan. Untuk alasan tersebut, keberadaan ETC harus tetap dipertahankan.

Namun demikian, apabila ‘pemberangusan’ tersebut dimaknai dan diimplementasikan sebagai sebuah usaha reinventarisasi tata kelola ETC sejalan dengan semangat otonomi daerah dan sistem pendidkan nasional kita maka sebaliknya kita harus dukung bersama-sama. Mengapa ? Karena keberdaan ETC, dimana secara administratif menjadi bagian integral dari SMK, tentu akan semakin kompleks dan sangat tergantung dari kebijakan sekolah tersebut khususnya maupun pemerintah daerah pada umumnya. Dengan demikian, sistem dan tata kelolanya juga harus menyesuaikan diri tidak hanya dengan kebijakan-kebijakan pemerintah pusat tetapi juga, dan ini yang lebih penting, adalah dengan sistem dan tata kelola sekolah maupun pemerintah daerah dimana ia berada. Peran ETC ke depan dituntut untuk mampu bersinergi tidak hanya dengan sistem atau subsistem yang ada di pemerintah pusat tetapi juga dengan sistem atau subsistem yang ada di pemerintah kabupaten atau kota bahkan propinsi. Sudahkah hal ini dilakukan seiring dengan perubahan ETC menjadi SPT ? Jawabannya tentu belum. Yang telah dilakukan selama ini justru mengkebiri kedudukan, peran dan fungsi ETC sehingga hal tersebut tidak semakin berkembang tetapi sebaliknya semakin mengerucut. Jika sebelumnya ETC diposisikan sebagai sebuah organisasi dalam SMK yang memiliki independensi mengelola dirinya sendiri, kini dengan berganti nama menjadi SPT, oraganisasi itu semakin lemah bahkan tidak ada. Fungsi pelatihan yang sebelumnya dimiliki oleh ETC, kini sudah ditiadakan. Yang tertinggal hanyalah fungsi pengujian dengan segala keterbatasannya.

Dari uraian di atas, tampak sekali bahwa perubahan nama dan fungsi ETC menjadi SPT samasekali tidak memberikan perubahan ke arah yang lebih baik tetapi justru sebaliknya. Perubahan tersebut, dalam perspektif apapun kecuali untuk kepentingan sempit dan sesaat, telah menjadi sebuah kemunduran dalam pengembangan sistem pendidikan bahasa Inggris di lingkup pendidikan kejuruan khususnya. Oleh karena itu, kebijakan ini harus ditata kembali sehingga cita-cita para ‘founding fathers’ yang telah bersusah payah membangun sistem per-ETC-an di negeri ini selama lebih dari setengah dekade dapat kita raih bersama-sama.


Balikpapan, 7 Februari 2008


Syamsul Aematis Zarnuji
Advisor – ETC SMKN 1 Balikpapan
Kepala SMK Airlangga Balikpapan
T : +62 542 761 941, 415 285
M : +62 811 531 471
E : szarnuji@yahoo.com

GURU BRILIAN BUKANLAH JAMINAN-Bagian 2 (habis)

Sebagai seorang guru, hati saya terasa miris ketika salah seorang kawan saya mengatakan kepada saya kalau seandainya semua guru-guru kita di negeri ini memiliki kualitas yang bagus maka selesailah perkara carut marut pendidikan kita ini. Dia begitu yakin dengan kepintaran dan kecakapan seorang guru dalam mengubah wajah pendidikan kita. Sampai-sampai ia berkata, “kalau gurunya sudah pintar, cakap dan terampil, biar kurikulum dan fasilitas belajarnya tidak bagus, hasilnya dijamin pasti bagus”. Saya lalu bertanya kepadanya, “guru-guru yang berkualitas itu seperti apa sih ? “ “Tentu guru-guru yang memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan yang bagus terkait dengan tugasnya sebagai guru”, jawabnya. Saya makin penasaran dengan cara pandang kawan saya ini. Saya pikir mungkin ada sesuatu yang baru yang bisa saya peroleh darinya mengingat dikalangan para pendidik dia sering ditokohkan sebagai seorang yang punya visi yang sangat brilian tentang dunia pendidikan kita. Makanya saya melanjutkan pertanyaan saya. “Menurut anda, kualitas guru-guru kita saat ini seperti apa sih ?”, tanya saya. “Wah.. kalau soal itu anda juga tau. Kualitasnya jau dari apa yang diharapkan”, timpalnya. “Lalu, apa yang harus kita lakukan ? “, tanya saya kembali. Dengan berapi-api dia menjelaskan. “Benahi LPTK-LPTK kita. Benahi kurikulum serta sistem pendidikan dan pelatihannya. Buat program-program yang bisa menarik minat generasi muda kita yang berprestasi, pintar dan brilian untuk masuk ke LPTK-LPTK tersebut dan pekerjakan dosen-dosen berkelas super untuk mendidik dan melatih mereka. Dengan cara itu kita tentu akan mendapatkan guru-guru yang mupuni”, urainya.

Memang sangat masuk akal. Jika kita ingin memiliki guru-guru yang berkualitas, brilian, mumpuni atau apalah istilah yang mau kita gunakan untuk menunjukkan tingkat ‘kehebatan’ atas kemampuan dan kecakapan guru-guru tersebut maka pendekatan formal yang paling ideal yang harus kita lakukan adalah persis seperti yang diuraikan oleh kawan saya di atas. Pertanyaanya kemudian adalah apakah dengan memiliki guru-guru yang mumpuni tersebut bahkan didukung dengan kurukulum dan fasilitas belajar yang baik dan sangat memadai lalu serta merta hasil dari proses pendidikan kita akan baik pula atau carut marut dunia pendidikan kita ini akan terselesaikan ?

Hemat saya, tidaklah demikian. Guru yang brilian hatta pun ditambah dengan kurikulum yang baik serta fasilitas yang sangat memadai bukanlah semata-mata jaminan untuk memperoleh hasil pendidikan yang berkualitas yang oleh karenannya carut-marut pendidikan kita di negeri ini serta-merta akan terselesaikan. Sayangnya, seringkali fokus perhatian kita tertuju hanya pada tiga aspek tersebut; guru berkualitas, kurikulum yang baik dan fasilitas yang memadai manakala kita berbicara soal penyelenggaraan pendidikan. Sepertinya kalau ketiga aspek tersebut telah dipenuhi maka selesailah urusan perbaikan kualitas pendidikan tersebut. Kita lupa bahwa masih ada aspek-aspek fundamental lain yang harus dikelola dengan baik jika kita menginginkan ketiga faktor di atas mampu memberi efek yang signifikan dalam memperbaiki kualitas pendidikan di negeri ini. Apalagi hanya berharap dari sebuah profesi guru walaupun memiliki kepandaian dan kecakapan yang sangat bagus. Lho, “bukankah guru itu sama dengan koki ?. Biar bahan bakunya tidak bagus kalau koki terserbut pintar meracik bumbu-bumbunya, pasti makanannya jadi lezat ”, kata kawan saya.
Logika tersebut 100 persen benar. Tapi jangan lupa bahwa bahan yang diracik oleh kedua orang yang memiliki profesi yang berbeda tersebut memiliki karakteristik yang amat sangat berbeda pula. Yang satu, biar di potong, dicincang atau diulek kalau nggak punya blender, tetap saja merem sedangkan yang lainnya, boro-boro mau dipotong, baru disentil saja sudah ngacir. “You can take the horses to the river but you can’t make them drink !” Karena karakteristik yang berbeda ini pula maka hasil yang akan diperoleh dari perlakuan terhadapnya pun akan berbeda walaupun dilakukan dengan cara yang sama. Oke … oke… “let’s just forget it !” saya kira ini bukan ‘case’ yang ingin saya sampaikan. Yang mau saya katakana adalah bahwa seorang guru yang memiliki kemampuan dan kecakapan yang bagus yang merupakan hasil dari sebuah proses ‘revolusi’ terhadap sistem penyelenggaraan LPTK kita tidak serta merta guru tersebut akan mampu dan/atau mau mewujudkannya [to perform] sebaik kemampuan dan kecakapan yang ia miliki ketika ia sudah menjadi seorang guru. Padahal yang bisa mengubah ‘wajah’ pendidikan kita ini bukan tergantung pada seberapa bagus ilmu dan keterampilan keguruan yang dimiliki oleh guru-guru kita tetapi lebih jauh daripada itu, dan ini yang lebih penting, adalah terletak pada seberapa bagus guru-guru kita telah melaksanakan tugas keguruannya tersebut.

Ketika kita berbicara sistem penyelenggaran LPTK kita dan berbagai aspek ikutan yang mendukung pengimplementasian sistem tersebut maka sebenarnya kita hanya berbicara soal ilmu pengetahuan dan keterampilan keguruan para guru kita, bukan seberapa bagus guru-guru kita telah melaksanakan tugas keguruannya. Padahal yang terakhir yang saya sebutkan inilah yang menentukan hitam putih wajah pendidikan kita. Percuma guru-guru kita mumpuni dari segi keilmuan dan keterampilan mengajarnya tetapi dalam mengajar mereka tidak mampu/mau melakukan sebaik ilmu dan keterampilan yang dikuasainya. Lho.. kok bisa ? Bukankah kalau ilmu dan keterampilan guru-guru kita sudah mumpuni maka mengajarnya juga mumpuni ?

Jawabnya tidak selalu demikian. Ada faktor lain yang amat sangat mempengaruhinya. Salah satu diantaranya adalah sistem yang menopang pelaksanaan tugas para guru tersebut ketika mereka telah diamanhkan tugas keguruan di pundaknya. Kalau sistemnya, mohon maaf, memble alias tidak kompetitif maka praktis para guru tersebut tentu akan mengajar sekena hati. Mereka tidak terpacu untuk mengeluarkan segenap kemampuan yang mereka miliki karena perlakuan ‘user’ terhadap mereka yang mengajar dengan baik bahkan melebihi standar yang telah ditetapkan tidak berbeda denagan atau lebih baik daripada mereka yang mengajar apa adanya bahkan jauh di bawah standar minimal. Mereka juga tidak terpacu untuk mengembangkan dirinya untuk ‘perform’ lebih baik. Justru apa yang telah diperoleh ketika masih di LPTK dulu kini lambat laun semakin memburuk, pudar bahkan hilang ditelan keengganan dan ‘kemalasan’nya. Hemat saya, baik buruknya sistem ini akan sangat mempengaruhi seberapa baik tugas-tugas keguruan yang akan dilaksanakan oleh para guru di tingkat akar rumput dan oleh karennya pula akan mempengaruhi kualitas pendidikan kita. Malah saya menduga, jika sistem di tataran implementasi ini berjalan dengan baik dalam atmosfir yang sangat kompetitif maka optimalisai kualitas pendidikan kita akan mampu kita capai walaupun di-back up oleh lulusan LPTK yang kualitasnya kurang baik. Mengapa ? Karena sistem tersebut tentu akan bekerja dengan sendirinya dalam rangka mengubah ‘mindset’ dan gairah kerja serta usaha para guru tersebut dalam mengubah dirinya menjadi lebih baik. Mereka akan terpacu untuk mencari sumber-sumber ilmu baru yang bisa menopang tugas keguruan yang diembannya dalam rangka tampil [perform] lebih baik bahkan terbaik di antara guru-guru lainnya.

Program sertifikasi guru, secara filosofis, sebenarnya telah menyentuh dan masuk ke ranah yang saya uraikan di atas. Namun sayang, dalam tataran implementatif, saya melihat belum berada pada jalur yang benar. “We are not on the right track and I’m sorry to say that !”. Dari pengamatan saya, penilian kinerja guru yang dilakukan hanya melalui porto folio sama sekali tidak mengubah watak dan prilaku guru secara substansial terkait dengan usaha-usaha mereka untuk memperbaiki kemampuan mengajarnya apalagi pelaksanaannya di dalam kelas. Yang berubah hanyalah gairah mereka untuk mengumpulkan sertifikat dan surat keterangan sebanyak-sebanyaknya hattapun dilakukan dengan cara memanipulasi data orang lain.

Sebagai penutup saya ingin katakan sekali lagi bahwa guru yang brilian, guru yang mumpuni, guru yang berkualitas atau guru yang memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan yang sangat tinggi yang merupakan hasil dari sebuah proses revolusi terhadap sistem penyelenggaaraan LPTK kita tidaklah serta merta akan mampu mengubah wajah pendidikan kita karena yang bisa mengubahnya bukan seberapa bagus ilmu pengetahuan dan keterampilan keguruan yang dimiliki oleh para guru kita tetapi lebih jauh daripada itu, dan ini yang lebih penting, adalah terletak pada seberapa baik para guru tersebut telah mampu melaksanakan tugas keguruannya ketika kelak mereka menjadi guru. Oleh karenanya dibutuhkan sebuah sistem yang dapat mendorong agar mereka mampu dan/atau mau melaksanakan tugas keguruan yang diembannya sebaik ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dikuasainya.

Guru yang brilian, guru yang mumpuni, guru yang berkualitas atau guru yang memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan yang sangat tinggi tentang tugas-tugas keguruan yang diembannya tentu tetap diperlukan. Tetapi jika hal tersebut tidak disertai dengan penataan sistem yang mampu menopang kondusifitas dan suasana kompetitif dalam pelaksanaan tugas-tugas mereka kelak ketika mereka berada di dalam kelas maka saya khawatir apa yang mereka lakukan bagi anak-anak didiknya tidaklah sebaik apa yang mereka tau dan bisa lakukan. Semoga tidak demikian adanya.

Balikpapan, 8 Februari 2008

Syamsul Aematis Zarnuji
Praktisi Pendidikan
T : +62 542 877 635
M : +62 811 531 471
E : szarnuji@yahoo.com
W : www.zarnuji.blogspot.com

Wednesday, February 06, 2008

GURU YANG BRILIAN BUKANLAH JAMINAN-Bagian 1

In dikmenjur@yahoogroups.com, "raja oppung" wrote:
Bila kita simak sampai saat ini bibit guru pada dasarnya orang-orang yangmenengah ke bawah dalam segala hal."TIDAK ADA ANAK PEJABAT YANG MAU JADI GURU", "TIDAK ADA ANAK ORANG KAYA MASUK IKIP", " TIDAK ADA JUARA I - III DI SLTA YANG MASUK KE IKIP"

Tadinya saya tidak begitu tertarik menanggapi tulisan raja opung ini terutama kalimatnya yang mengatakan kalau tidak pernah ada siswa juara 1-3 di SMA yang mau masuk IKIP. Tapi karena kalimat yang dicetak huruf besar itu muncul lagi di milis ini, tangan saya jadi 'gatel' juga untuk menulis.

Asumsi raja opung ini menurut saya terlampau berlebihan. Kalau jarang anak yang juara 1-3 masuk IKIP atau FKIP mungkin masih bisa diterima. Tapi kalau sampai mengatakan nggak ada itu udah keterlaluan. Di FKIP jurusan Bahasa Inggris tempat saya kuliah dulu, saya bahkan bisa mengatakan hampir separuh dari kawan-kawan seangkatan saya adalah siswa-siswa yang dulunya berprestasi dan nggak pernah keluar dari ranking 1-3 di sekolahnya sewaktu SMA. Dan hebatnya lagi mereka itu berasal dari SMA-SMA favorit baik dari kota dimana FKIP tersebut berada maupun dari kota-kota lainnya di Indonesia. Dan super-super hebatnya, pendidikan paska sarjana mereka apakah itu master atau doktor semuanya diambil universitas-universitas ternama di luar negeri.

Pengalaman empirik saya ini mungkin kasuistik. Tapi bukan berarti lalu kita bisa mengatakan kalau nggak ada anak-anak orang kaya, anggak ada anak-anak berprestasi, nggak ada anak-anak pintar, nggak ada anak-anak yang juara 1-3 atau nggak ada anak-anak yang super lainnya yang mau masuk IKIP atau FKIP. Menurut saya ini salah besar. Kenyataannya ada kok, bahkan untuk jurusan-jurusan tertentu cukup banyak. Cuman kalau mau dibandingkan jumlahnya dengan mahsiswa non FKIP atau IKIP, ya... harus kita akui bahwa institusi tempat menggembleng orang-orang yang akan menjadi guru ini pasti kalah telak. Tapi sekali lagi bukan berarti nggak ada anak-anak 'super' di FKIP atau IKIP. Mereka ini sering tidak kelihatan di permukaan karena institusinya memang tidak 'populer' disamping jumlahnya yang tidak banyak. Mereka ibarat mutiara yang terpendam.

Yang menjadi persoalan kemudian adalah setelah mereka mendapatkan gelar S.Pd, sebagian anak-anak yang cukup brilian ini bukannya menjadi guru tetapi memilih profesi lain. Alasannya klasik memang. Disamping tidak bergengsi, 'income' yang diperoleh dari profesi ini relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan gaji yang akan mereka peroleh jika bekerja di BUMN atau perusahaan-perusahaan asing misalnya. Itulah yang sering mereka katakan kalau kita bertanya mengapa mereka tidak menjadi guru.

Terlepas dari hal ini, ada sebuah pertanyaan yang menurut saya menarik untuk dicermati. Apakah dengan memiliki guru-guru yang 'berkualitas', pendidikan kita akan menjadi lebih baik ? Kata berkualitas saya tulis dalam tanda kutip mengingat penginterpretasian kata tersebut bisa jadi tidak sama antara satu orang dengan orang lainnya. Ada sebagian kalangan yang memadankan kata-kata 'guru berkualitas' dengan 'guru yang brilian'. Mereka berpikir kalau guru saya pintar maka segala urusan mendidik anak bangsa ini akan terselsaikan. Makanya usaha-usaha yang ditempuh selalu berurusan dengan bagaimana mendapatkan guru-guru yang brilian mulai dari memperbaiki input calon guru, pembenahan dan optimalisasi sistem pendidikan dan pelatihan guru, melakukan penataan-penataan LPTK-LPTK agar bisa menjadi institusi yang mumpuni dan lain-lain yang selalu lebih baik dan serba up-to-date. Mereka berpikir inilah solusi yang paling 'jitu' dalam rangka memperbaiki carut-marut dunia pendidikan kita saat ini. Mereka tidak sadar kalau masih ada aspek-aspek lain yang perannya tidak kalah penting bahkan lebih penting daripada sekedar menjadi guru yang brilian dalam rangka memperbaiki pelaksanaan pendidikan di republik ini. Cilakanya, sebagian besar dari masayarakat kita, bahkan para pakar pendidikan kita sekalipun sebagian masih memaknai guru berkualitas tersebut seperti ini. Lalu bagaimana sebaiknya kita memaknai guru berkualitas tersebut ?

Buat saya pribadi, guru berkualitas itu tidak diukur dari APA YANG BISA IA LAKUKAN tetapi dari APA YANG SUDAH IA LAKUKAN terkait tugas yang diembannya sebagai seorang guru. Jadi yang menjadi penekanan di sini adalah pada implementasinya, bukan pada apa yang ia ketahui. Seseorang bisa saja mengerti cara mengajar dengan baik, juga memiliki keterampilan untuk melakukan hal itu sebagai akibat dari sebuah proses rekrutmen dan pelatihan yang sangat baik. Tapi bisakah kita menjamin kalau yang ia tahu dan bisa lakukan itu mau diterapkannya. Dia sebenarnya mampu melakuknnya tetapi dia belum atau tidak mau melakukannya. Bersambung ke Bagian 2

Monday, February 04, 2008

YANG TERSISA DARI SEMINAR NASIONAL CIO 2008 DI BALIKPAPAN

Baru saja sempat saya menyandarkan punggung saya di salah satu sofa tua di pojok ruang tamu dan mencoba sedikit rileks dari kepenatan saya setelah seharian mengikuti Seminar Nasional CIO 2008 di salah satu hotel berbintang di kota Balikpapan ketika saya tiba-tiba teringat kalau saya masih memiliki berbagai pertanyaan dan pandangan yang belum sempat saya sampaikan di ajang bergensi tersebut. Saya menyebut ‘gawean’ tersebut bergengsi karena setahu saya baru kali ini ada lembaga pendidikan tinggi di Balikpapan yang berani melaksanakan sebuah seminar TIK bertaraf nasional dengan para pembicara ‘top’ dibidangnya serta didampingi oleh seorang moderator yang juga menjadi salah satu anchor peliputan berita di sebuah stasiun televisi swasta terbesar di Indonesia. Patut kiranya diberikan penghargaan dan acungan jempol kepada panitia penyelenggara atas terlakasananya acara tersebut walaupun masih ada kekurangan di sana sini. Karena kelebihan dan kekurangan ini pula yang mengusik dan memacu adrenalin saya yang beberapa bulan terakhir ini mengendor untuk tetap menulis dan terus menulis. Maka tak ayal lagi, laptop yang tadinya sudah saya simpan di tempatnya serta merta harus saya turunkan lagi dan kembali menggerakkan jari-jemari saya di atas keyboard yang huruf-hurufnya sudah mulai tampak kabur tersebut sambil menunggu waktu sholat magrib tiba. Inilah sekelumit catatan saya yang saya tulis dengan gaya yang agak berbeda dari biasanya. Mudah-mudahan menarik untuk dibaca dan dicermati.

Saya sadar betul kalau anda adalah salah satu dari sekian banyak orang yang kebetulan berkesempatan membaca tulisan ini tetapi bisa jadi anda belum sempat menghadiri seminar ini atau bahkan baru kali ini anda membaca atau mendengar istilah CIO. Maka patutlah anda bertanya apakah CIO itu. Kalau demikian adanya, rasanya tidak fair kalau saya langsung tune in pada apa yang sesungguhnya ingin saya sampaikan.

CIO [baca:Chief Information Officer] dalam bahasa Indonesia, secara harfiah dapat diartikan sebagai ‘kepala pegawai/staf informasi’. Jadi secara generik CIO itu bolehlah dilihat sebagai sebuah jabatan yang mengepalai bagian informasi yang didukung oleh beberapa pegawai atau staf di dalamnya. Dalam tataran operasional, CIO didefiniskan sebagai seorang eksekutif yang bertanggung jawab atas perencanaan, penyelarasan, penyiapan, implementasi dan evaluasi TIK [teknologi informasi & komunikasi] di dalam sebuah organisasi (Lukito Edi Nugroho, Ketua Program Magister Teknologi Informasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta). Sementara dalam lingkup pendidikan atau lembaga pendidikan, CIO itu lebih daripada sekedar seseorang yang bertugas sebagai pelaksana dalam memperlancar segala urusan yang terkait dengan pemberdayaan TIK di sebuah lembaga pendidikan. CIO adalah sebuah jabatan yang diemban oleh seseorang dengan sebuah kewenangan yang mampu melakukan hal-hal terkait dengan pembuatan kebijakan, bahkan bila perlu, dapat memberikan pressure atau punishment bagi sebagian besar komunitas dalam sebuah lembaga pendidikan demi memperlancar pengendalian pemanfaatan TIK di institusi tersebut. Di tataran yang lebih spesifik di ingkup sekolah atau perguruan tinggi misalnya, kawan saya yang kemudian menjadi salah seorang steering committee seminar yang baru saja saya hadiri tersebut mengatakan kalau CIO itu bolehlah dianalogikan sama dengan Wakil Kepala Sekolah Bidang TIK atau di level perguruan tinggi saya kira bisa jadi sama dengan Pembantu Rektor Bidang TIK, Pembantu Ketua Bidang TIK atau Wakil Direktur Bidang TIK. “Lho, apa lagi ini ? Wakil Kepala sekolah yang sudah ada saja di sekolah saya mau ‘diliquidasi’ kok. Boro-boro mau menambah wakil kepala sekolah yang baru lagi. Apa pentingnya sih Wakasek Bidang TIK di sekolah-sekolah kita ? ” kata salah seorang kawan saya yang saat ini mengepalai salah satu sekolah swasta di Kota Balikpapan.

Pertanyaan atau pernyataan yang dilontarkan kawan saya di atas mungkin kedengaran tidak begitu penting bagi anda untuk anda respon, tapi justru inilah semestinya yang menjadi pijakan dan entry point kita manakala kita berbicara soal CIO, Wakasek Bidang TIK, Pembantu Rektor Bidang TIK, Wakil Ketua Bidang TIK, Wakil Direktur Bidang TIK atau atau apalah istilah yang anda mau gunakan untuk menyebut sebuah jabatan yang berada di ‘second line’ urusan TIK itu diantara hangar-bingar penyelenggaraan pendidikan kita saat ini. Tapi sayang, seminar yang mengusung tema “CIO Solusi Menjawab Tantangan Global dan Milenium Development Goals” itu belum sampai menyentuh hal-hal seperti itu, yang menurut hemat saya cukup substansial jika kita berbicara soal tantangan global dan ‘milenium development goals’. Salah satu ulasan yang ingin sekali saya dengar dari pembicara dalam konteks ini saat itu adalah bagaimana menarik benang merah antara peran CIO dengan berbagai usaha membangun tiga elemen penting ; e-government untuk sektor pemerintah, e-learning untuk sektor pendidikan dan e-commerce untuk sektor industri dalam memenagkan persaingan global di planet yang oleh Thomas L Freudman disebut sudah tanpa tapal batas [the world is flat] ini . Hemat saya, sangat tidak cukup kalau anda hanya mampu mengatakan CIO itu amat sangat dibutuhkan dalam membangun ketiga sektor tersebut tanpa mengetahui alasan ilmiah mengapa hal itu sangat diperlukan. Dalam sebuah seminar dengan pakem akademis yang menjadi salah satu karakteristiknya, elaborasi benang merah yang ada diantara ketiga simpul di atas sebagai bagian dari argumentasi mengapa CIO sangat dibutuhkan tentu menjadi sangat penting.

Saya, anda atau siapa saja yang sempat hadir dalam seminar tersebut patut kiranya menggandakan ucapan terimakasih pada pak Lukito, Ketua Program Magister Teknologi Informasi, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang telah sedikit memaparkan hasil survey UNPAN, sebuah lembaga riset internasional yang memposisikan keberadaan e-government kita pada tahun 2005 yang baru mampu berada di urutan ke 10, satu tingkat di atas Vietnam dan dua tingkat di bawah Brunei Darussalam, diantara negara-negara di Asia. Paparan ini tentu bisa menjadi bagian dari elaborasi benang merah antara perlunya CIO dan berbagai usaha dalam membangun e-government kita. Tapi bagaimana dengan sektor pendidikan menyangkut e-learning-nya yang tentu saja bisa digunakan untuk meyakinkan kawan saya tadi kalau CIO di sekolah-sekolah kita sangat diperlukan. Demikian pula dengan sektor industri menyangkut e-commerce-nya. Kedua sektor yang saya sebutkan tadi parktis tidak terlalu banyak di-back up dengan data-data pendukung ilmiah yang akurat yang bisa dijadikan sandaran untuk kemudian pada akhirnya kita berkata ‘ya saya memang sangat membutuhkan CIO di organisasi saya’.

Pentingkah hal ini ? Ya, tentu saja. Disamping karena seminar itu adalah forum ilmiah, CIO tersebut adalah sebuah ‘profesi’ yang amat sangat baru di dunia TIK di Indonesia bahkan mungkin di dunia. Di Indonesia sendiri hanya ada dua lembaga pendidikan tinggi yang cukup punya ‘nyali’ untuk membuka program ini. Oleh karenanya diperlukan exposure dari existing data yang bisa digunakan untuk meyakinkan audien bahwa memang CIO ini amat sangat kita butuhkan. Di lingkup pendidikan khususnya, saya tadinya berharap ada ‘exposure’ tentang kekuatan dan kelemahan kita dalam bidang e-learning saat ini. Harapan semacam ini wajar kiranya muncul tidak hanya dari saya tapi dari kawan-kawan praktisi pendidikan yang lain mengingat begitu gencarnya Departemen Pendidikan Nasional kita menggalang pembangunan TIK di republik ini akhir-akhir ini. Lihat saja proyek-proyek yang telah diluncurkan seperti jardiknas, school net, virlib [virtual library] bahkan terakhir saya mendengar akan diluncurkan megaproyek satu milyar untuk pengadaan komputer di seluruh Indonesia untuk kepentingan pendidikan. Tapi data-data ini kan masih sangat generik dan hanya sebagian kecil dari sekian banyak elemen-lemen fundamental yang dibutuhkan untuk meracik elaborasi yang rasional dan ilmiah guna menjawab mengapa CIO itu sangat dibutuhkan di lembaga-lembaga pendidikan kita. Belum lagi pertimbangan-pertimbangan existing condition non fisik yang dimiliki oleh lembaga-lembaga tersebut. Mempertemukan benang merah antara kepentingan kita untuk mampu bersaing dalam kompetisi global dengan existing condition keberdaan teknologi informasi di lembaga-lembaga pendidikan kita saat ini tentu akan menjadi entry point yang sangat efektif dalam memberikan pencerahan bahkan penyadaran akan kebutuhan kita terhadap CIO tersebut. Kalau self awareness akan kebutuhan CIO tersebut telah dimiliki oleh setiap kita terutama para peserta seminar yang bisa jadi mereka adalah top management di organisasinya maka ‘kegairahan’ untuk memperkuat keberadaan teknologi informasi di lingkup organisasi yang dipimpinnya tentu selalu ada dan inilah yang semestinya harus kita bangun saat ini.

Karena saya rasa isu ini menarik dan sangat penting buat saya dan mungkin juga untuk anda dan audien yang lainnya yang menjadi bagian dari kosmik ilmiah dalam perhelatan akbar tersebut, saya tetap berharap kalau di plenary session isu ini akan disentil oleh ketiga nara sumber mengingat mereka benar-benar trio yang menurut pandangan saya sangat ideal. Satu berlatar belakang birokrat yang bisa merepresentasikan sektor pemerintah dengan e-gov-nya. Satu lagi berlatar belakang pendidik atau ahli pendidikan dengan e-learning-nya dan satu yang lainnya berlatar belakang entrepreneur yang tentu saja bisa merepresentasikan dunia industri dengan e-commerce-nya. Tapi sayang, tetap juga tidak menyentuh esensi yang tertuang dalam tema yang diusung dalam seminar nasional tersebut.

Kalau dalam konteks dunia pendidikan misalnya, kita merasa membutuhkan CIO ini karena internet yang menjadi salalah satu hal yang akan diurusi oleh CIO bisa membuat anda berpetualang di alam maya, men-download materi-materi pendidikan dengan cepat dan efisien, membangun kantor-kantor tempat bekerja secara maya bahkan bisa menghasilkan uang atas bantuan software tersebut, maka sungguh alasan tersebut menjadi sesuatu yang amat sangat sederhana untuk ‘ditelanjangi’ di forum sekelas seminar nasional. Argumentasi-argumentasi semacam ini tentu tidak salah, bahkan saya menjamin sangat tepat. Tapi kadar keilmuan yang muncul dari elaborasi seperti itu sungguh terlampau jenerik tetapi sangat sederhana dan bisa saja lahir dari kalangan netter pada umumnya. ‘Ketidakseksian’ content dari bedah gagasan pada plenary session di sore itu semakin terasa ketika moderator sama sekali tidak memberikan kesempatan kepada audien untuk menjadi bagian aktif dari proses diskusi tersebut.

Apa yang anda baca di atas mungkin terasa getir dan bisa saja hal itu menjadi bad news buat anda. Tapi jangan dulu kecewa karena itu kan hanya ekspektasi subyektif saya. Saya, anda atau audien bisa saja berharap A sementara pemateri memberikan B. Ini menurut saya sesuatu yang sangat lumrah terjadi. Banyak sekali catatan-catatan saya yang menurut hemat saya patut diberi pujian dan tentu menjadi good news buat anda dan terlebih lagi bagi panitia pelaksana. Selain yang saya sebutkan di pengantar tulisan saya, hajatan yang sebagian besar pematerinya didatangkan dari luar Balikpapan [baca:Jakarta] ini tetap juga masih bisa terlaksana dengan baik walaupun ibu kota negara tersebut dilanda banjir yang membuat akses transportasi lumpuh total. Toh dengan kondisi seperti itu, saya masih sempat mendengar suara renyah Prita Laura [pengganti Meutia Hafidz] yang sempat memoderatori acara tersebut setengah hari. Mendatangkan public figure seperti ini tentu bukan pekerjaan mudah apalagi dalam dalam kondisi darurat seperti saat itu. Maka patut kiranya kita berikan apresiasi dan salut kepada panitia yang telah berusaha secara maksimal hingga detik-detik terakhir dan tetap komit melanjutkan acara tersebut walaupun dalam suasana yang kurang menguntungkan. Overall, saya mau katakan bahwa it’s such a big job and only a few people can do it ! Selamat atas telah terlaksananya Seminar Nasional CIO 2008 dan Selamat juga kepada Panitia Pelaksana yang telah menggagas dan menyukseskan pelaksanaan acara tersebut !

Balikpapan, 2 January 2008

Syamsul Aematis Zarnuji
Praktisi Pendidikan
Tel : +62 542 877 635
Cell : +62 811 531 471
W : www.zarnuji.blogspot.com
E : szarnuji@yahoo.com