Saturday, November 27, 2010

GURU DAN TELKOMSEL : SEBUAH IRONI ?


Sebagai pelanggan yang cukup lama dan setia dengan kartu HALO, saya selalu berharap TELKOMSEL dapat memberi sedikit perhatian kepada pelanggan seperti saya dalam bentuk non finansial sekalipun. Sebut saja misalnya, peliputan atau penayangan profil pelanggan HALO atau produk TELKOMSEL lainnya pada media-media informasi atau promosi yang diluncurkannya. Salah satu yang selalu saya ikuti adalah tayangan profil pelanggan/tokoh di radio SMART FM Balikpapan. Jika saya perhatikan dari lamanya para pelanggan atau tokoh yang bersangkutan menjadi pelanggan Kartu HALO atau produk TELKOMSEL lainnya yang ditampilkan dalam acara tersebut, saya harus katakan bahwa sebagian besar dari mereka masih 'hijau' soal kesetiaan pada sebuah produk. Tapi yang mengherankan, mereka mendapatkan ’privilege’ yang lebih dibandingkan dengan pelanggan-pelanggan seperti saya dari TELKOMSEL. Saya menduga 'privilege' ini mereka dapatkan karena mereka adalah pelanggan yang dianggap sebagai tokoh dalam sebuah komunitas tertentu atau karena mereka punya banyak uang yang diberikan keapada TELKOMSEL melalui pembayaran 'phone billing' setiap bulannya. Sementara, pelanggan-pelanggan seperti saya, disamping tidak punya 'pundi' yang cukup besar, ketokohannya pun seringkali dimarjinalisasikan oleh kebanyakan masyarakat kita, mungkin juga oleh TEKOMSEL dalam konteks dan filosofi 'customer care' yang dianutnya.

Seorang pelanggan yang berprofesi sebagai guru, dalam perspektif bisnis yang dianut oleh TELKOMSEL, bisa jadi dipandang tidak memiliki 'nilai jual' yang cukup dalam rangka menaikkan derajat korporasi dimata publik atau bisa saja karena guru dianggap tidak mampu menjadi agen yang dapat mengubah atau membangun image sebagai basis pengkreasian 'buyers network' atas sebuah produk yang sedang dipasarkan. Dengan demikian, berapapun lama dan sesetia apapun seorang pelanggan yang berlatar belakang profesi sebagai guru seperti saya terhadap produk tersebut, dimata korporasi yang menganut filosofi bisnis seperti ini, keberadaan pelanggan seperti dimaksud boleh jadi belum patut diperhitungkan.

Kalau filosofi ini kemudian yang dianut oleh TELKOMSEL dalam menjalankan bisnisnya sehingga para pelanggan yang berlatar belakang dan memiliki status sosial seperti saya kurang diperhatikan, saya dengan berat hati harus legowo menurunkan kadar kebanggaan yang saya miliki atas korporasi ini dalam waktu lebih dari satu dekade terakhir ini. Saya juga harus berani mengatakan bahwa TELKOMSEL telah salah dalam memaknai dan memposisikan pelanggannya yang berlatar belakang guru seperti saya. TELKOMSEL telah gagal melihat peran lain yang cukup potensial dalam perspektif bisnis tentunya yang mampu dimainkan oleh seorang guru selain fungsi edukasi dan sosial yang selalu melekat dan tak terelakkan dalam dirinya.

Perusahaan-perusahaan yang menganut filosofi  seperti ini bisa jadi meyakini bahwa hanya tokoh-tokoh politik, pejabat, bintang film, penyanyi, pelawak dan profesi-profesi yang kadangkala bisa diraih secara instan tersebut saja yang mampu mengubah dan membangun image ’target market’ yang dinginkannya. Mereka lupa bahwa guru sejatinya begitu amat dekat dengan ’target market’ tersebut.  Guru, tanpa bisa difungkiri, telah menjadi salah satu bagian dari sebuah profesi dan status sosial masyarakat yang membawa misi pembaharuan ide, gagasan dan image  atas sesuatu hal. Guru juga, sebagaimana tokoh-tokoh politik  dan pejabat-pejabat yang ’distimewakan’ oleh TELKOMSEL tersebut, memiliki ’massa’ yang jumlahnya begitu banyak dan bertambah dari tahun ke tahun yang berpotensi dijadikan ’target market’ atas produk yang hendak dipasarkannya. Potensi-potensi seperti ini justru seringkali mampu dibaca oleh pihak-pihak yang notabene bukan representasi dan korporasi yang menjadi backbone perekonomian negara kita. Eksistensi guru sebagai ’agent of change’ dalam persoalan ide, gagasan dan image malah dimanfaatkan di satu sisi, namun termuliakan di sisi lain, oleh organisasi-organisasi yang bukan dimiliki oleh bangsa kita.

Dalam berbagai ajang internasional yang pernah saya ikuti dalam lima tahun terakhir ini dimana guru dari berbagai belahan dunia terlibat di dalamnya, saya selalu mendapatkan jawaban yang sama ketika saya bertanya mengapa guru diberikan kesempatan yang begitu luas dan diistimewakan dalam kegiatan-kegiatan tersebut. Mengapa oraginasi-organisasi yang secara faktual bukan milik bangsa ini tetapi dengan begitu antusias menempatkan orang-orang seperti saya pada posisi yang istimewa ? Mengapa setiap kali kunjungan saya ke negara adidaya seperti Amerika Serikat, saya selalu diberikan kesempatan menjadi tamu kehormatan dan berbicara di salah satu jaringan televisi dan radio terbesar di dunia; Voice of America, sementara di Indonesia, untuk tampil sebagai salah satu tamu TELKOMSEL melalui jaringan radio SMART FM saja begitu sulit diwujudkan. Jawaban mereka atas pertanayaan-pertanyaan tersebut tak lain dan tak bukan karena guru memiliki peran yang tidak kalah penting dan kuat dalam rangka membangun persepsi atas berbagai hal. Satu kata seorang guru bisa menjadi beratus-ratus bahkan beribu-ribu kata ketika hal itu disampaikan kepada siswa-siswinya, tidak terkecuali ketika sebuah korporasi ingin memperkenalkan produk yang diciptakannya.

Kalau demikian adanya, masihkan TELKOMSEL memarjinalisasikan pelanggan dengan latar belakang, profesi dan status sosial seperti ini dalam berbagai kegiatan ’customer care’ yang dijalankannya ? Selamat  Hari Guru 25 November 2010 ! Jayalah Guruku, Jayalah Negeriku dan Jayalah Bangsaku !

Salam,

Syamsul Aematis Zarnuji – www.zarnuji.blogspot.com