Anda terkesima dengan judul
tulisan saya ini? Tentu. Hari ini saya tidak saja terkesima tetapi juga kaget,
marah sekaligus sedih ketika membaca sebuah berita; http://news.liputan6.com/read/823211/keluar-penjara-corby-dibayar-rp-32-miliar-untuk-wawancara tentang ‘keberanian’ salah satu stasiun
televisi Australia membayar sekitar 32 milyar rupiah hanya untuk bisa
mewawancarai Corby, sang narapidana yang baru saja diberikan status bebas
bersyarat oleh pemerintah RI itu. Kemarahan dan kesedihan saya melebihi
kejengkelan dan kemasygulan saya terhadap pembebasannya dari jeruji besi
beberapa hari yang lalu. Bagimana tidak. Dunia begitu angkuh telah menyuguhkan
kondisi yang begitu paradok di depan mata kita. Kata-kata seorang narapidana
dihargai jauh lebih mahal daripada kata-kata seorang insinyur, dokter, guru, dosen, motivator
ulung bahkan professor sekalipun. Bayangkan! Dengan hanya bermodal julukan ratu
mariyuana karena ulah bejatnya menyelundupkan 4,2 kilogram barang haram
tersebut ke Bali, kata-kata yang diucapkannya berani dibayar jauh lebih mahal
daripada gaji ribuan guru selama setahun di tempat saya bertugas saat ini.
Padahal para guru itu telah berjuang dengan mengorbankan tidak sedikit uang dan
memberdayakan segala potensi dan fikiran selama bertahun-tahun melalui
pendidikan dan latihan hingga bisa diakui eksistensinya dan akhirnya
mendapatkan gaji yang jumlahnya jauh lebih kecil daripada harga kata-kata orang
yang telah dibui karena kejahatannya itu. Sungguh sebuah kondisi yang amat
sangat paradok dan maaf saya harus mengatakan the ‘world’ isn’t fair!
Kalau kita mau jujur, kondisi
paradok ini sungguh banyak terpajang di depan kita. Seorang artis-artisan
dengan modal seksi, dada dan paha terbuka serta berani bicara jorok dan blak-blakan membuka aib dirinya sendiri
dan orang lain di depan publik telah mampu memberikan pesona yang luar biasa
bagi pemilik korporasi pertelevisian kita sehingga membayarnya dengan harga
yang begitu mahal untuk itu. Seorang tukang lelucon yang bermodalkan keberanian
mengeksploitasi berbagai kata-kata, rona muka, kaki, tangan, mulut bibir,
rambut, bagian-bagian tubuh lainnya serta barang-barang dan orang lain di
sekitarnya pun tak kalah seksi bayaran yang diterimanya dari stasiun televise
yang menayangkannya. Padahal kalau kita tanya, apa yang telah dilakukan terkait
pendidikan yang dimilikinya, mulai dari Corby, si penjahat narkoba itu hingga
artis-artisan dan tukang lelucon yang ditayangkan di televisi kita, jawabannya
realtif sama; tidak lebih baik daripada guru-guru kita itu. Inilah bukti betapa
banyak situasi paradoksal yang disuguhkan di hadapan kita saat ini.
Saya sangat maklum bahwa besarnya
bayaran wawancara ekslusif yang diterima Corby atau honor yang diberikan kepada
artis-artisan dan tukang lelucon itu tidak ada hubungannya dengan pendidikan
yang disandangnya sehingga saya mustinya tidak perlu ‘galau’ dengan situasi
ini. Ya, saya tidak galau dengan hal ini tetapi saya risau dengan pesan yang
mungkin saja terbaca oleh berjuta-juta orang tua, anak-anak dan masyarakat
kita. Akan sangat fatal manakala orang tua, anak-anak dan masyarakat kita yang
saban hari disuguhkan dengan kondisi yang paradok ini membangun sebuah konsepsi
bahwa “untuk mendapatkan uang banyak sebagai modal hidup sejahtera tidak perlu
pendidikan!” Alasan mereka mungkin saja sederhana. “Lihat saja di sekeliling
kita orang-orang yang berpendidikan tinggi ternyata tidak jauh lebih baik
kehidupannya daripada mereka yang pendidikanya pas-pasan seperti artis-artisan
dan tukang lelucon itu. Wong orang jahat saja seperti Corby bisa mendapat
bayaran bermilyar-milyaran kok”.
Khusus dalam kasus pembayaran hak
siar wawancara eksklusif Corby yang fantastis itu, saya memaknainya dari
perspektif yang mungkin saja berada di luar mainstream penilaian publik pada
umumnya. Saya bahkan mencurigai ada motif tersembunyi di balik itu. Di luar
perspektif bisnis, TV 7 Australia atau pihak-pihak yang berada di belakangnya
bisa saja sedang mengirimkan sebuah pesan kepada publik di Indonesia bahwa si
ratu mariyuana itu adalah asset yang begitu bernilai harganya bagi mereka
sehingga kata-katanya dibayar begitu mahal walaupun di Indonesia dia dinilai
sebagai penjahat kelas kakap. Pemaknaan ini
muncul di benak saya ketika saya mencoba menarik benang merah antara
besarnya tarif wawancara yang diberikan oleh stasiun televisi tersebut dengan
eksistensinya. Siapa sih wanita berkebangsaan Australia yang memiliki nama
lengkap Schapelle Leigh Corby itu?
Apakah dia begitu populer dan memiliki banyak fans seperti yang dimiliki oleh
artis-artis kelas dunia? Atau… apakah dia seorang tokoh yang begitu populer
atau spionase yang mengerti dan memegang rashasia Negara sehingga harus dibayar
begitu mahal supaya dia mau membocorkannya? Saya rasa tidak! Schapelle Leigh
Corby hanyalah seorang janda mantan narapidana yang pernah dijebloskan ke dalam
penjara Grobokan-Bali gara-gara mencoba menyelundupkan mariyuana seberat 4.2
kilogram ke Indonesia. Itu saja! Kalau demikian adanya, cukup rasionalkah kalau dia perlu dibayar puluhan milyar untuk
sebuah wawancara tersebut. Kalaupun dilihat dalam konteks bisnis, ‘nilai jual
kata-kata’ penjahat narkotika ini belumlah sepadan dengan eksistensinya bila
dibandingkan dengan tarif wawancara public figure dan selebriti-selebriti kelas
dunia. Karena itulah kemudian saya memaknainya dalam perspektif yang berbeda.