Friday, June 23, 2006

SEKOLAH UNGGULAN VERSUS SIWA GAKIN DAN BINA LINGKUNGAN


Pernyataan yang mengatakan bahwa “kewajiban menerima siswa dari keluarga miskin (Gakin) dan bina lingkungan (BL) berpotensi membuat sejumlah sekolah favorit tak berpredikat unggulan lagi” seperti dilansir Kaltim Post, 24/06/06 adalah pernyataan pihak-pihak yang patut diragukan ketokohannya dalam dunia pendidikan. Mestinya mereka merasa bangga diberi kepercayaan oleh pemerintah untuk mendidik anak-anak kita yang mungkin kurang beruntung baik dalam hal kemampuan ekonomi maupun intelegensinya. Menurut pandangan saya, kesempatan ini sungguh sangat luar biasa harganya karena inilah momen yang paling tepat bagi mereka untuk menunjukkan kepada publik bahwa sekolah yang dibinanya mampu memberi nilai tambah yang signifikan dalam bentuk peningkatan kualitas ilmu pengetahuan, keterampilan dan sikap melalui proses pendidikan yang dilakukannya. Inilah kesempatan yang paling berharga bagi mereka untuk membuktikan kepada masyarakat bahwa elemen-elemen yang mendukung proses pendidikan yang dilakukannya selama ini benar-benar bisa diandalkan. Jika hal ini tidak bisa dilakukan atau dibuktikan maka saya melihat tak ada satupun alasan yang bisa digunakan sebagai pembenaran untuk memberikan gelar bagi mereka sebagai ‘sekolah unggulan’.

Sekolah unggulan hendaknya tidak dilihat dari aspek kualitas input yang diperolehnya tetapi harus, dan ini yang lebih penting, dinilai dari seberapa besar kemajuan yang bisa diperoleh oleh input yang dikelolanya selama mereka mengikuti pendidikan di institusi tersebut. Mengapa demikian ? Karena ‘core business’ dari sebuah lembaga pendidikan adalah terletak pada berbagai proses yang dilakukannya guna memberi nilai tambah bagi peserta didiknya dan nilai tambah tersebut parameternya adalah tingkat kemajuan yang diperoleh peserta didik bersangkutan selama mengikuti proses dimaksud, bukan seberapa bagus kualitas inputnya. Semakin tinggi tingkat kemajuan yang bisa diraih oleh peserta didiknya maka semakin tinggi pula prestasi dan status sosial dari sekolah tersebut. Atas pertimbangan itu pula kemudian ia layak diberikan gelar dan disebut sebagai ‘sekolah unggulan’.

Jika ada sekolah yang mengklaim dirinya sebagai sekolah unggulan hanya karena alasan inputnya bukan berasal dari anak-anak kita yang kebetulan memiliki nasib kurang beruntung baik dalam hal ekonomi maupun intelegensi atau hanya berdasarkan kemampuan akhir siswanya tanpa melihat seberapa besar rentang kemajuan yang mereka peroleh bila dibandingkan dengan kemapuan mereka pada saat pertama kali mendaftarkan dirinya di sekolah dimaksud maka selaku pendidik saya meminta sekolah tersebut untuk dievaluasi kinerjanya secara komprehensif. Ini menjadi amat sangat penting karena bisa jadi prestasi yang diperolehnya selama ini hanyalah sebuah nilai tambah yang stagnan yang tidak bisa diklasifikasikan sebagai sebuah kemajuan yang signifikan. Peluang terjadinya hal tersebut cukup rasional mengingat input yang diperolehnya selama ini memiliki kualitas kemampuan yang cukup tinggi atau di atas rata-rata sejak mereka pertama kali mengikuti pendidikan pada sekolah-sekolah dimaksud sehingga tanpa mengubahnya pun kualitas kemapuan mereka memang sudah tinggi. Bila hal ini benar-benar terjadi maka sesungguhnya pihak-pihak dimaksud sebenarnya tidak pernah melakukan sesuatu untuk meningkatkan prestasi peserta didiknya, tetapi semata-mata hanya mempertahankan prestasi yang sebenarnya telah mereka miliki sebelumnya. Dengan bahasa yang lebih gamblang, mereka bisa saja tidak pernah berusaha untuk membuat anak didiknya menjadi pintar tetapi hanya mempertahankan anak-anak yang pintar. Kalau begini keadaannya maka sekolah-sekolah semacam itu sesungguhnya tidak ada bedanya dengan lembaga-lembaga pendidikan yang disebut sebagai sekolah gurem selama ini sehingga sekali lagi sungguh sangat tidak rasional kalau pemerintah atau masyarakat memberikan lebel unggulan padanya.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sekolah unggulan adalah sekolah yang mampu memberi nilai tambah yang signifikan dalam bentuk peningkatan kualitas ilmu pengetahuan, ketrampilan dan sikap bagi peserta didiknya, bukan sekolah yang hanya mampu mempertahankan kualitas input yang dikelolanya . Dengan demikian, keengganan apalagi ketidakmauan pihak-pihak tertentu untuk menerima calon peserta didik yang kebetulan kurang beruntung baik dalam hal kemampuan finansial maupun intelegensi untuk dididik di sekolah-sekolah yang dibinanya harus segera dihilangkan. Lembaga-lembaga pendidikan publik yang selama ini mengklaim dirinya sebagai sekolah unggulan harus dengan rela dan penuh tanggung jawab menjalankan tugasnya sebagai institusi pendidikan dan pelatihan bagi siapa saja yang berada di lingkungan komunitas dimana ia berada tanpa melihat seberapa tinggi tingkat intelejensinya dan seberapa banyak kekayaan yang ia miliki karena tugas tersebut adalah representasi dari salah satu kewajiban negara bagi rakyatnya. Seleksi atau tes penerimaan siswa baru hendaknya dilihat bukanlah sebagai alat yang digunakan untuk ‘mengganjal’ siapa-siapa saja yang layak mendapatkan pendidikan pada institusi-institusi tersebut tetapi tak lebih hanya sebagai sarana untuk mengetahui seberapa tinggi kualitas ilmu pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dimilikinya saat itu yang pada akhirnya akan menjadi parameter penentuan seberapa besar nilai tambah yang telah diberikan oleh sebuah lembaga pendidikan bagi peserta didiknya pada akhir proses pendidikan yang telah ditempuhnya. Semoga bermanfaat.

Salam hangat dari Amherst, USA !
Syamsul Aematis Zarnuji
Duta Pendidikan Indonesia
The 2006 US-Indonesian Educators Exchange Program
The University of Massachusetts, United States of America.

3 comments:

DEDI DWITAGAMA said...

Konsep sekolah unggulan di Indonesia mungkin hanya sekedar pemberian label .... jika input siswanya bagus-bagus lalu out put nya bagus ya ... sebuah kerja yang tak terlalu sulit ... mungkin harus dibuat sistem yang mengharuskan sekolah unggulan menerima murid bukan dengan kualitas baik ... lalu kita lihat out put nya ...

Tapi tampaknya masih sangat sulit ... krn org-org elit yang punya kualitas unggulan fight masukkan anaknya di sekolah unggulan ... dimanakah EDUACTION FOR ALL ... ?

Keep Fight
Dedi Dwitagama

find me at www.dwitagama.blogspot.com

Syamsul Aematis Zarnuji said...

Pak Dedi,
Trimakasih atas komentarnya. Pemkot Balikpapan saya kira sudah memulainya. Tantangannya adalah bagaimana mengubah paradigma berfikir para pelaksana teknis pendidikan di lapangan dan mindset masyarakat yang selama ini sudah terlanjur 'terjerumus' pada hal yang salah kaprah. I'll always keep fight with it !
salam,
Syamsul

Syamsul Aematis Zarnuji said...

Om Sulis yang terhormat,
Saya mau balik bertanya sama Om Sulis, Standar apa yang ada di benak anda ketika anda berbicara soal kuwalitas ? Salah seorang siswa anda yang pada saat pertama kali ikut mata diklat permesinan hanya kenal yang namanya baut dan mur namun setelah anda bimbing dalam waktu dua bulan misalnya, dia bisa bikin baut dan mur bahkan merangkainya dengan begitu sempurna. Apakah siswa anda dan anda sebagai gurunya tidak bisa disebut berkualitas ? Atau sebaliknya, salah seorang siswa anda yang ketika pertama kali ikut mata diklat anda ia telah mampu tidak hanya mengenal tetapi bisa membuat bahkan merangkaikan baut dan mur tersebut walaupun belum begitu sempurna. Setelah dua bulan mengikuti mata diklat anda, baru ia bisa merangkaikan baut dan mur tersebut dengan sempurna. Apakah anda dan siswa anda tersebut bisa disebut berkualitas ? Pertanyaan ini amat sangat penting untuk Om Sulis jawab sebelum kita lanjutkan diskusi soal kuwalitas, tentu dalam konteks penyelenggaraan pendidikan, bukan dalam pabrik minuman 'tolak angin'.

Terlepas dari hal tersebut di atas, dalam tulisan saya terdahulu saya sama sekali tidak berbicara soal kuwalitas. Fokus saya adalah 'added values' atau nilai tambah yang bisa diberikan oleh lembaga pendidikan atau diperoleh oleh siswa selama mengikuti pendidikan di lembaga tersebut yang saya harapkan kita semua bisa melihat hal ini sebagai parameter keberhasilan sekaligus standar penyebutan sekolah unggulan, bukan seberapa pintar dan kaya anak-anak kita ketika pertama kali masuk di sekolah tersebut.

Kenapa sekolah publik tidak boleh menolak siswa yang ingin mendaptkan pendidikan di sekolah dimaksud hanya karena alasan ketidakmampuan tadi ? Jawabnya jelas adalah karena sekolah publik adalah representasi dari pemerintah yang ditugaskan untuk menjalankan program pendidikannya dan UU telah mengamanatkan kepadanya untuk menjamin penyelenggaraan pendidikan bagi setiap warga negaranya tanpa terkecuali. Salah satu wujud dari tanggung jawab ini adalah, pemkot Balikpapan telah menjamin pembiayaan pendidikan tersebut walaupun di level SLTA belum dilakukan secara total. Namun demikian, hal ini bisa menjadi 'starting point' yang sangat bagus dalam rangka memperbaiki sistem penyelenggaraan pendidikan publik kita.

Tanpa ada maksud memaksakan kehendak untuk meniru pola pendidikan negara maju seperti Amerika Serikat misalnya, sepanjang ia sekolah publik, ia memiliki kewajiban untuk memberi pendidikan bagi setiap warga negara yang membutuhkannya di wilayah sekolah tersebut hattapun ia maaf idiot, cacat fisik, cacat mental dan segala macam kekurangan yang dimilikinya. Sekolah-sekolah tersebut samasekali tidak punya kewenangan untuk menolaknya. Jika anak-anak tersebut pada akhirnya sekolah di swasta atau di rumah (homeschooling) itu semata-mata karena pilihan mereka.

Sekolah-sekoah publik di Indonesia nggak usalah seperti itu. Cukup anak-anak tersebut pada saat pertama kali masuk mereka bisa baca tulis, memiliki kemampuan berlogika standar untuk mengikuti pelajaran yang akan diikutinya, ya sudah cukup. Justru dalam pandangan saya, anak-anak seperti inilah yang harus masuk ke sekolah-sekolah publik yang selama ini mengagungkan dirinya sebagai sekolah unggulan, sekolah center, sekolah percontohan dan lain sebagainnya. Dengan 'kelebihan human resource' baik dalam hal 'hrdware', 'software' maupun 'brainware' yang mereka miliki tentu mereka bisa berbuat banyak untuk memberikan perubahan yang signifikan bagi anak-anak tersebut ke arah yang lebih baik. Pola ini tentu akan terlihat 'cantik' pelaksanaannya ketika 'mindset' kita terhadap keberhasilan penyelenggaraan pendidikan disandarkan pada sebuah parameter "seberapa banyak nilai tambah yang telah mampu diraih oleh siswa kita selama mengikuti pendiddikan di sekolah tersebut dalam skala makro atau mengikuti mata pelajaran/diklat yang kita ajarkan dalam skala mikro", bukan seberapa tinggi nilai /performance akhir dari siswa tersebut.

Kalau parameter keberhasilannya 'added values' tadi yang tentu sekali lagi saya pandang sebagai 'core business' dari penyelenggaraan pendidikan, saya tentu dengan senang hati menerima 'tantangan' dari Om Sulis untuk bisa menjadikan anak-anak 'berkuwalitas' tentu dalam perspektif bahwa kuwalitas itu diukur dengan melihat seberapa banyak kemajuan yang bisa di raih oleh mereka setelah mengikuti mata pelajaran yang saya ajarkan, bukan seberapa tinggi nilai akhirnya. Semoga bermanfaat !

Salam hangat dari Amherst, USA !

Syamsul Aematis Zarnuji

Sulistyo Wrote :

anda masih ingat iklan di media elektronik, ' dari bahan-bahan
pilihan diproses dengan mesin yang canggih dengan pengawasan mutu
yang terstandar maka......" orang pintar minum tolak angin,,,,,,,,,"
kita bisa belajar dari sana bahwasanya untuk menghasilkan yang
berkualitas maka raw material juga berkualitas dan diseleksi secara
tepat sesuai kriteria yang dikehendaki produsen.....anda juga bisa
bertanya pada tukang pande (menempa)besi...untuk membuat
pisau/parang yang tajam dan berkualitas baik, bahan apakah yang
diperlukan.........dan akhirnya saya kembalikan pada anda Tuan
Syamsul..setelah anda melanglang ke benua kanguru dan paman Sam
apakah anda bisa menjadi orang berkualitas dan menghasilkan siswa
yang berkualitas at least dalam mata diklat Tuan.......We'll
see......
Sukses Slalu