Saturday, April 22, 2006

MENYOAL PRA UJIAN NASIONAL : TINJAUAN DARI SUDUT PANDANG PEDAGOGI, POLTIK DAN EKONOMI


Di sela-sela hiruk pikuk pelaksanaan pilkada secara langsung di berbagai daerah di Kalimantan Timur, beberapa hari terakhir ini publik disuguhkan dengan berbagai pemberiataan tentang pelaksanaan Pra Ujian Nasional (Pra-UN) di daerah tersebut. Dari informasi yang dilansir Harian Kaltim Post dan beberapa media lokal lainnya, penyelenggaraan tes tersebut berjalan dengan lancar. Namun demikian, hasil tes yang baru saja dilaksanakan beberapa waktu yang lalu tersebut sungguh sangat menyedihkan. Dari 79.224 peserta yang mengikuti tes pada 13 kabupaten/kota, rata-rata jumlah siswa yang mampu mencapai nilai standar kelulusan secara nasional (nilai minimal pada masing-masing mata ujian adalah 4,26 dengan nilai rata-rata minimal 4,51) hanya kurang dari 50 %. Bahkan di salah satu kabupaten, khusus pada jenjang pendidikan SLTA, tak satupun dari peserta tes tersebut yang mampu meraih standar nilai kelulusan dimaksud (Kaltim Post, 12 April 2006). Pertanyaannya kemudian, apakah yang harus dilakukan untuk menyikapi hasil tes tersebut dalam rangka menghadapi ujian akhir nasional yang akan datang ?

Dalam tulisan ini saya akan menguraikan berbagai fenomena penyelelenggaraan tes dimaksud dari sudut pandang pedagogi, politik dan ekonomi serta langkah-langkah strategis yang harus diambil baik oleh pemerintah maupun penyelenggara pendidikan di Propinsi Kalimantan Timur dalam menyikapi pelaksanaanya dan hasil yang telah dicapai.

A. SUBSTANSI DAN MEKANISME PELAKSANAAN PRA - UN
Seperti diketahui bahwa tujuan dari penyelenggaraan Pra-UN tersebut adalah untuk melihat sampai sejauh mana kesiapan siswa – siswi kelas 3 SLTP dan SLTA di Propinsi Kalimantan Timur dalam rangka mengikuti Ujian Nasional tahun ajaran 2005/2006. Dari hasil pelaksanaan Pra-UN tersebut diharapkan agar sekolah dapat melaksanakan langakah-langkah strategis guna mengantisipasi ketidaktercapaian standar nilai kelulusan yang telah ditetapkan secara nasional untuk tahun ajaran 2005/2006 ini. Berangkat dari tujuan tersebut maka diputuskanlah untuk dilaksanakan uji coba tes mata pelajaran/diklat yang diujikan secara nasional yang kemudian disebut dengan Pra Ujian Nasional.

Substansi dan mekanisme pelaksanaan Pra-UN tersebut dibuat sama persis seperti Ujian Nasional. Perbedaannya hanya terletak pada wilayah dimana ujian dimaksud di laksanakan. Jika Ujian Akhir Nasional mencakup seluruh wilayah Republik Indonesia maka Pra-UN dilaksanakan hanya dilingkup wilayah propinsi Kalimantan Timur. Namun demikian, semua sub kegiatan dari program tersebut dilakukan secara sentralistik kecuali pelaksanaan/pengawasan dan pengiriman kembali lembar jawaban tes tersebut yang menjadi tugas dari masing-masing sekolah penyelenggara.

Pelaksanaan tes tersebut dilakukan kurang lebih satu bulan stengah menjelang Ujian Nasional dilaksanakan. Sedangkan hasil dari tes tersebut disampaikan/tiba di masing-masing sekolah kurang dari satu bulan menjelang pelaksanaan Ujian Nasional - UN (Pelaksanaan UN sesuai dengan jadwal yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional akan dilakukan pada minggu pertama bulan Mei yang akan datang). Hasil dari pelaksanaan Pra-UN tersebut berupa daftar nilai yang telah dicapai oleh masing-masing peserta tes pada sekolah bersangkutan yang hanya dilengkapi dengan keterangan apakah yang bersangkutan telah mencapai standar kelulusan atau tidak. Inilah penjelasan secara garis besar tentang substansi dan mekanisme pelaksanaan Pra-UN tersebut di Propinsi Kalimantan Timur.


B. TINJAUAN DARI SUDUT PANDANG PEDAGOGI, POLITIK DAN EKONOMI
Secara pedagogis, substansi dan mekanisme pelaksanaan Pra-UN seperti yang saya uraikan tersebut di atas masih memunculkan berbagai pertanyaan berkaitan dengan keefektifitasannya. Dilihat dari tujuan yang ingin dicapai maka substansi dan mekanisme seperti yang telah dijalankan tersebut memiliki beberapa kelemahan jika dikaitkan dengan fungsi tes tersebut yakni sebagai alat diagnosa (diagnostic test) untuk mengetahui kesiapan (kelemahan dan kekuatan) kita dalam mengikuti UN yang akan datang. Kelemahan-kelemahan tersebut anatara lain;

Pertama adalah berkaitan dengan substansi test (test contents). Jika diamati salah satu tes yang digunakan dalam Pra-UN tersebut, sebut saja misalnya mata pelajaran/diklat bahasa Inggris untuk kelompok SMK, ditemukan bahwa aspek pengetahuan dan keterampilan bahasa yang diujikan pada tes tersebut baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya tidak sama dengan apa yang tertera pada panduan pelaksanaan Ujian Nasional tahun pelajaran 2005/2006 yang diterbitkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Penilaian Pendidikan, Departemen Pendidikan Nasional (Lihat Panduan Materi Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2005/2006 SMK Kurukulum 1994). Dalam Panduan tersebut pada Gambaran Umum disebutkan bahwa jumlah soal untuk masing-masing bagian tes; listening dan reading adalah 30 butir. Dengan demikian jumlah soal seluruhnya adalah 60 butir. Walaupun dalam Prosedur Operasi Standar - POS Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2005/2006 disebutkan bahwa jumlah soal seluruhnya adalah 50 butir yang terdiri dari 15 untuk tes listening dan 35 untuk test reading, informasi ini menurut saya memiliki tingkat kebenaran yang lebi rendah bila dibandingkan dengan informasi yang tertera pada Panduan Materi Ujian Nasional. Kenapa ? Karena POS tersebut hanyalah dokumen yang fungsi urtamanya mengatur prosedur atau teknis pelaksanaan ujian tersebut sedangkan Panduan Materi Ujian Nasional lebih mengarah ke substansi atau isi soal. Dengan demikian, pedoman utama yang seharusnya digunakan untuk menyusun soal Pra-UN tersebut tentu buku Panduan Materi Ujian Nasional, bukan POS Ujian Nasional. Kalau dokumen tersebut yang digunakan sebagai referensi, kenapa jumlah soal Pra-UN hanya 15 butir pada bagian listening dan 35 pada bagian reading ? Inilah perbedaan yang paling mendasar dalam hal kuantitas isi soal. Disamping itu, apabila dibandingkan dengan bentuk dan jumlah soal UN tahun lalu, soal-soal Pra-UN yang diujikan beberapa waktu yang lau pun sangat kelihatan perbedaannya.

Selain pada aspek kuantitas, ketidakkonsistensian juga bisa ditemukan pada tataran kualitas isi tes. Dalam buku Panduan Materi Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2005/2006 disebutkan bahwa ada 2 (dua) Standar Kompetensi Lulusan-SKL yang diujikan secara nasional yakni; kemampuan mendengarkan (listening) dan kemampuan membaca (reading). Khusus pada kemampuan membaca disebutkan bahwa ruang lingkup materi yang diujikan meliputi 4 (empat) hal ; menemukan pesan utama dalam teks tulis (1), menemukan informasi rinci tertentu (2), menemukan makna tersurat dan tersirat (3) dan menafsirkan makna kata sesuai konteks (4). Jika diperhatikan keempat hal tersebut tampak dengan jelas bahwa ranah bahasa yang diujikan adalah keterampilan memahami bacaan, bukan pengetahuan terhadap struktur kalimat-kalimat yang biasa dijumpai dalam bahasa tertulis. Kalau mengacu kepada panduan baku yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional tersebut sungguh tidak bisa dimengerti kenapa pada tes bahas Inggris SMK Pra-UN tersebut yang katanya dibuat semirip mungkin dengan tes UN masih muncul soal-soal yang substansinya menguji kemampuan seseorang terhadap pengetahuan struktur (structure) kalimat dan tata bahasa (grammar). Dari 35 soal yang diujikan pada bagian kemampuan membaca terdapat lebih dari 50 % atau 20 butir soal mengarah kepada hal tersebut.

Disamping ketidakkonsistensian penyebaran keterampilan dan pengetahuan bahasa yang diujikan pada tes Pra-UN tersebut, ketidakjelasan dan/atau kesalahan pencetakan pun bisa ditemukan pada beberapa soal. Sebut saja misalnya pada bagian kemampuan mendengarkan. Gambar-gambar yang disuguhkan pada bagian ‘interpreting pictures’ tidak begitu jelas. Bahkan gambar nomor 1 (satu) samasekali tidak bisa diidentifikasi.

Kedua adalah berhubungan dengan prosedur atau mekanisme pelaksanaan tes (testing mechanism). Seperti diketahui bahwa Pra-UN tersebut dilaksanakan kurang lebih satu bulan setengah mejelang waktu pelaksanaan UN. Sementara dilain pihak mekanisme pelaksanaannya dilakukan secara sentralistik yang tentu membutuhkan waktu relatif cukup lama terutama untuk memperoses hasil yang telah dicapai oleh peserta tes. Karena birokrasinya yang cukup panjang disamping terlalu dekatnya waktu pelaksanaan tes tersebut dengan jadwal pelaksanaan UN maka waktu yang tersisa untuk melakukan persiapan UN setelah menerima hasil Pra-UN tersebut sangatlah sempit. Bayangkan apa yang bisa kita lakukan dalam 3 (tiga) minggu ini ? Tentu melakukan pengayaan terhadap materi-materi yang di-UN-kan. Dengan waktu yang 3 (tiga) minggu pasti kita tidak bisa berharap banyak jika melihat jumlah materi yang harus disampaikan. Konsekwensinya adalah kita tentu tidak akan bisa memperoleh hasil yang optimal.

Selain kedua aspek yang telah saya uraikan di atas, isi laporan hasil tes (contents of test report) juga menjadi salah satu penyebab ketidakefektifitasan penyelenggaraan Pra-UN tersebut dalam sudut pandang pedagogis. Sebagai sebuah ‘diagnostic test’, laporan hasil tes dimaksud seyogyanya tidak hanya berisi daftar pencapaian nilai peserta test tetapi juga, dan ini yang amat penting, harus dilengkapi dengan analisis hasil tes (Analysis of Test Result-ATR). ATR adalah penjelasan tentang kelemahan dan kekuatan yang dimiliki oleh para peserta tes berkaitan dengan isi tes (test contents) yang diujikan. Bila memungkinkan, penjelasan ini dibuat secara individual. Jika tidak karena pertimbangan waktu dan biaya misalanya, maka analisa tersebut bisa juga dibuat per kelas/jurusan atau minimal per sekolah peserta tes. Hal ini dimaksudkan untuk membantu guru mata pelajaran/diklat bersangkutan dalam menentukan fokus bimbingan persiapan UN di masing-masing sekolah mereka. Karena tidak dilengkapinya laporan hasil Pra-UN tersebut dengan ATR maka para guru merasa kebingungan sehingga tidak fokus pada kelemahan siswa-siswinya.

Dalam tataran politik, kebijakan penyelenggaraan Pra-UN secara sentralistik birokratis sesungguhnya adalah bentuk ketidakkonsistensian pemerintah dalam menjalankan amanat Undang Undang (UU) Otonomi Daerah dan UU Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003. Kedua produk hukum tersebut dengan jelas mengamanatkan kepada negara agar pola pengelolaan pendidikan dasar dan menengah diubah dari sentralistik (terpusat) menjadi desentralistik (tidak terpusat). Makna kata ‘desentralistik’ ini tidak hanya ditujukan pada pengalihan kewenangan dari pemerintah pusat ke daerah, tetapi juga dari daerah ke lembaga penyelenggara pendidikan (sekolah/madrasah). Atas dasar pemahaman ini kemudian lahirlah apa yang disebut dengan Manajemen Berbasis Sekolah-MBS (School-Based Management). Inti dari penerapan MBS ini adalah adanya pembagian kewenangan (sharing of power) antara pemerintah pusat, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kota dengan lembaga penyelenggara pendidikan. Dalam hal ini kewenangan yang bersifat kebijakan dan regulasi tentu menjadi bagian dari pemerintah baik pusat maupun daerah sedangkan hal-hal yang berhubungan dengan teknis penyelenggaraan pendidikan tentu menjadi kewenangan masing-masing sekolah. Harapannya adalah terwujudnya apa yang disebut dengan ‘kemandirian sekolah’ (autonomous schooling).
Lalu bagaimana dengan penyelenggaraan Pra-UN ? Dalam hal memutuskan dan membuat regulasi penyelenggaraan kegiatan tersebut tentu menjadi kewenangan pemerintah propinsi yang bisa saja dialihkan ke masing-masing kabupaten/kota sedangkan teknis pelaksanaannya mulai dari pembentukan tim pelaksana, penyusunan soal, pelaksanaan tes, pengoreksian, pembuatan daftar nilai serta ATR dan lain sebagainya semestinya menjadi kewenangan sekolah. Model seperti ini tentu bisa dilaksanakan apabila ada rasa saling percaya antara subsitem yang terkait dalam penyelenggaraan pendidkan tersebut dan melaui persiapan yang matang. Terlepas dari itu semua, tentu ‘good will’ dari penyelenggara pemerintah untuk mentaati peraturan yang telah dibuatnyalah yang menjadi gerbong utama penggerak perubahan tersebut.

Selain dalam tataran pedagogis dan politis, tanpa mengurangi kelebihan yang dimilikinya, penyelenggaraan Pra-UN tersebut juga memiliki kelemahan bila dilihat dari sudut pandang ekonomi.
Seperti kita ketahui bahwa pelaksanaan Pra-UN di propinsi Kalimantan Timur yang dilaksanakan beberapa waktu yang lalu tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Biaya-biaya tersebut bisa saja meliputi kegiatan pra, sedang dan pasca pelaksanaan program. Kegiatan pra pelaksanaan program dapat berupa penyiapan/pembentukan panitia, rapat-rapat koordinasi, penyusunan tes, penerbitan/penggandaan tes, pengepakan serta pengiriman tes ke lokasi ujian. Sedangkan kegiatan yang perlu dilaksanakan pada saat dan pasca pelaksanaan ujian adalah berupa pelaksanaan/pengawasan tes, pengepakan lembar jawaban tes, pengiriman lembar jawaban tes ke tempat pengoreksian, pengoreksian, pengolahan nilai dan pengiriman hasil tes ke masing-masing dinas pendidikan kabupaten/kota dan sekolah-sekolah penyelenggara. Disamping biaya-biaya yang dianggarkan di tingkat provinsi, masing-masing sekolah penyelenggara ujian tersebut juga mengeluarkan dana ekstra minimal untuk panitia internal sekolah bersangkutan. Bila pembiayaan seluruh kegiatan tersebut rata-rata dianggarkan Rp. 25.000 (dua puluh lima ribu rupiah) saja per peserta tes, maka jumlah anggaran yang harus disediakan untuk penyelenggaraan tes tersebut bagi 80.000 (delapan puluh ribu) peserta adalah 2 (dua) milyar rupiah (Kaltim Post, 05 Maret 2005). Bayangkan saja, untuk mendapatkan gambaran tentang kesiapan mengikuti ujian akhir nasional saja pemerintah harus rela mengeluarkan dana yang cukup besar jumlahnya. Padahal apabila penyelenggaraan kegiatan semacam ini bisa disiasati maka jumlah anggaran yang harus disiapkan tentu bisa ditekan jumlahnya dan yang pasti dengan hasil yang maksimal.

Sebenarnya permasalahan yang paling mendasar bukan saja terletak pada seberapa besar anggaran yang digunakan untuk penyelenggaraan Pra UAN tersebut tetapi yang paling utama, dan ini yang lebih penting, adalah berkaitan dengan mekanisme pelaksanaan tes tersebut yang tampaknya cenderung kepada pemborosan.

Seperti yang telah saya uraikan bahwa mekanisme penyelenggaraan tes tersebut dilakukan dengan pola sentralistik, dimana hampir semua sub kegiatan pengujian dimaksud dipusatkan di propinsi. Konsekwensi logis dari sistem ini adalah adanya birokrasi yang cukup panjang dari pemerintah propinsi hingga ke sekolah penyelenggara. Hal ini kemudian memunculkan relatif lebih banyak sub kegiatan dan waktu yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Dengan demikian biaya yang dibutuhkan pun pasti lebih banyak dibanding dengan apabila borokrasi yang panjang tersebut bisa dipangkas. Sebut saja misalnya pendistribusian soal dari propinsi ke masing-masing sekolah penyelenggara. Jika rentang distribusi ini bisa diperpendek maka tentu biaya yang dibutuhkan untuk itupun semakin sedikit. Contoh pemborosan lain dari mekanisme seperti yang telah dilaksanakan pada Pra-UN tersebut adalah munculnya kepanitiaan ganda. Disamping panitia penyelenggara di tingkat propinsi, dimasing-masing sekolah penyelenggara pun dituntut untuk membentuk panitia internal, bahkan mungkin juga di masing-masing Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Munculnya kepanitiaan yang berlapis-lapis ini tentu membuat pembengkakan pada anggaran pembiayaan sehingga secara ekonomis, pola penyelenggaraan Pra-UN seperti ini tidak efisien.

Dari keseluruhan paparan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa bila dilihat dari tujuan dan fungsi dilaksanakannnya Pra-UN tersebut maka dapat dikatakan bahwa substansi dan mekanisme penyelenggaraan ujian dimaksud masih lemah baik ditinjau dari sudut pandang pedagogi, politik maupun ekonomi. Dengan demikian, pola yang telah dilaksanakan tersebut harus dibenahi. Pertanyaannya kemudian, seperti apakah model penyelenggaraan kegiatan tersebut sehingga bisa dijamin kualitas dan akuntabilitasnya ? Dan langkah-langkah apakah yang harus dilakukan penyelenggara pendidikan dalam menyikapi hasil Pra-UN yang tidak memuaskan tersebut ?

C. ALTERNATIF PEMBENAHAN MODEL PENYELENGGARAAN PRA-UN
Perlu diketahui bahwa elaborasi model penyelenggaraan Pra-UN yang saya tawarkan berikut ini tidak bisa dimaknai sebagai penjustifikasian kebenaran terhadap urgensitas penyelenggaraan Ujian Nasional di Indonesia. Walaupun isu ini masih kontroversial, dari beberapa referensi dan kajian terhadap perlu tidaknya penyelenggaraan UN dengan subsatansi dan mekanisme seperti yang telah diterapka selama ini, saya memandang pelaksanaan UN dengan model tersebut sebaiknya dihentikan dan diganti dengan nama, subsntansi, sistem dan mekanisme yang baru. Alasannya adalah karena nilai tambah (added value) yang diperoleh dari kegiatan tersebut tidak sebanding dengan ‘ongkos’ pedagogis, politis, ekonomis dan sosial yang telah dikorbankannya (Kompas , 26 Mei 2003 dan Pikiran Rakyat, 04 Februari 2005). Namun demikian, jika pilihannya hanya satu yaitu kebijakan pemerintah pusat tentang pelaksanaan UN tersebut sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi sehingga setiap siswa kita tanpa kecuali diharuskan mengikuti ujian tersebut maka minimal pada tingkat pemerintah propinsi perlu kiranya diselenggarakan Pra-UN dengan substansi dan mekanisme yang memiliki tingkat efektifitas dan akuntabilitas yang tinggi dengan harapan agar hasil yang diperoleh dapat dicapai secara optimal. Agar pelaksanaan kebijakan tersebut memiliki tingkat efektifitas dan akuntabilitas yang tinggi, faktor-faktor pedagogis, politis dan ekonomis dalam substansi dan mekanisme penyelenggaraan Pra-UN tersebut menjadi sesuatu yang harus dipertimbangkan.

C.1. SUBSTANSI
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa tujuan dari penyelenggaraan Pra-UN adalah untuk mengetahui kekuatan dan/atau kelemahan yang dimiliki oleh siswa-siswi kita dalam rangka mengikuti ujian nasional. Dengan demikian, tes yang digunakan dalam Pra-Un tersebut hendaknya berfungsi sebagai alat diagnosa (diagnostic test) atas kemampuan siswa-siswi kita dalam mengerjakan soal-soal yang mungkin diujikan pada ujian nasional. Konsekwensi logis dari hal tersebut adalah bahwa substansi dari pengujian tersebut harus meliputi minimal dua hal pokok yakni; isi tes (Test Contents -TC) dan laporan hasil tes (Report of Test Result-RTR).

Isi tes (TC) adalah cakupan ranah pengetahuan dan keterampilan yang diujikan dalam soal-soal Pra-UN yang disusun berdasarkan Standar Kompetensi Lulusan –SKL yang telah ditetapkan. Mengingat pengerjaan soal-soal Pra-UN tersebut dimaksudkan untuk mendeteksi/mendiagnosa kelemahan/kelebihan siswa kita dalam mengerjakan soal-soal yang mungkin diujikan pada UN maka isi tes Pra-UN hendaknya dibuat sama dengan atau paling tidak mirip dengan isi soal-soal yang mungkin diujikan pada UN. Untuk merealisasikan hal tersebut maka penyusunan soal-soal Pra-UN harus mengacu kepada Buku Panduan Pelaksanaan Ujian Nasional yang diterbitkan secara resmi oleh Departemen Pendidikan Nasional. Konsistensi kesamaan/kemiripan bentuk, jumlah, tingkat kesulitan dan ranah pengetahuan dan keterampilan antara kisi-kisi soal yang terdapat dalam buku Panduan Pelaksanaan Ujian Nasional dengan isi tes Pra-UN tersebut menjadi sangat penting karena hal itu merupakan salah satu karakteristik yang harus dimiliki oleh sebuah tes yang digunakan sebagai alat diagnosa (diagnostic test). Bila tidak maka fungsi tersebut dengan sendirinya terabaikan.

Disamping isi tes sebagaimana diuraikan di atas, laporan hasil tes (RTR) juga memiliki peran yang sangat signifikan dalam rangka memfungsikan Pra-UN tersebut sebagai alat diagnosa. Dengan demikian RTR harus dilengkapi dengan perangkat yang bisa digunakan sebagai pemberi informasi terhadap ketercapaian nilai Pra-UN masing-masing peserta tes dan ranah pengetahuan/keterampilan mana saja dari isi tes tersebut yang menjadi kelemahan atau kelebihan masing-masing individu yang mengikuti tes tersebut. Perangkat yang paling tepat untuk itu adalah apa yang saya sebut dengan Deskripsi Nilai (Score Description -SD) dan Analisa Hasil Tes (Analysis of Test Result-ATR). SD berisi daftar nama-nama peserta tes, nilai yang dicapai dan tingkat ketercapaiannya bila mengacu kepada standar nilai kelulusan UN. Sedangkan ATR berisi daftar nama-nama peserta tes yang dilengkapi dengan penjelasan pada ranah pengetahuan/keterampilan mana saja dari isi tes tersebut yang menjadi kelemahannya. Jika ini tidak bisa dilakukan karena terlalu banyaknya peserta tes maka ruang linkupnya bisa diperluas menjadi per kelas/jurusan atau maksimal per sekolah penyelenggara tes Pra-UN. Dokumen-dokumen ini amat sangat penting karena inilah ‘senjata’ yang bisa digunakan oleh para guru mata pelajaran/diklat yang di-UN-kan untuk melakukan dan memfokuskan materi pengayaan dalam kegiatan persiapan menghadapi UN. Tanpa ini maka mereka tentu tidak akan terfokus pada masalah yang dihadapi masing-masin siswa dan pada kahirnya tentu hasil yang dicapai dalam pelaksanaan UN tidak akan optimal.

C.2. MEKANISME
Ada dua hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan mekanisme pelaksanaan Pra-UN tersebut. Pertama adalah masalah prosedur pelaksanaan. Agar memiliki nilai efektifitas dan akuntabilitas yang tinggi maka prosedur pelaksanaanya harus diubah dari pola terpusat (sentralistik) menjadi tidak terpusat (desentralistik). Konsekwensinya adalah pemerintah propinsi hendaknya dengan penuh keberanian dan elegan menyerahkan urusan ini minimal kepada masing-masing pemerintah kabupaten/kota. Untuk hal-hal yang bersifat teknis sebaiknya langsung diserahkan kepada masing-masing sekolah penyelenggara sedangkan hal-hal yang bersifat kebijakan, regulasi dan pengawasan bisa ditangani langsung oleh pemerintah kabupaten/kota atau bisa juga propinsi apabila pemerintah kabupaten/kota bersangkutan tidak siap menyelenggarakannya. Kenapa demikian ? Karena, seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya, prosedur seperti ini mampu memberikan jaminan efektifitas dan akuntabilitas yang tinggi baik ditinjau dari perspektif politik maupun ekonomi. Dalam tataran politik, pemerintah propinsi tentu bisa menjadi contoh bagi propinsi-propinsi lainnya dalam hal pengimplementasian Undang Undang Otonomi Daerah dan Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003, dimana ‘otonomous schooling’ menjadi salah satu tujuan akhir dari pemberlakuan peraturan tersebut. Sementara dalam tataran ekonomi, pemangkasan birokrasi yang cukup panjang dari pemerintah propinsi hingga ke sekolah penyelenggara tentu akan memperpendek jarak dan waktu dalam pelaksanaan program tersebut. Dengan demikian biaya yang dibutuhkan pun menjadi relatif lebih sedikit.

Alasan yang sering digunakan sebagian kalangan untuk menentang wacana di atas adalah adanya kekhawatiran dari pemerintah propinsi tentang kesiapan pemerintah kabupaten/kota atau sekolah penyelenggara untuk melaksanakan kegiatan tersebut agar mampu memberikan hasil yang optimal. Argumentasi semacam ini tentu tidak bisa dibenarkan karena semestinya pemerintah propinsi selaku daerah otonom memiliki tugas dan tanggung jawab untuk membina ‘subordinate’ nya baik pemerintah kabupaten/kota secara kelembagaan maupun personil yang ditugaskan di lingkup pemerintahan tersebut, termasuk di dalamnya guru mata pelajaran/diklat yang di-UN-kan. Sehingga kata kuncinya adalah apakah pemerintah propinsi memiliki ‘good will’ untuk memberdayakan mereka dalam melaksanakan Pra-UN tersebut. Caranya bagaimana ? Salah satu alternatif yang bisa ditempuh adalah dengan menggunakan MGMP/D (Musyawarah Guru Mata Pelajaran/Diklat) yang di-UN-kan di masing-masing kabupaten/kota sebagai perpanjangan tangan pemerintah propinsi/kabupaten/kota. Dengan sebuah sistem dan persiapan yang terencana, yang kalau saya uraikan pada kesempatan ini tentu terlalu teknis dan memakan tempat dan waktu yang cukup lama, para guru tersebut bisa menjadi bagian integral dari penyelenggaraan program dimaksud.

Ada paling tidak dua keuntungan yang bisa diperoleh dari pola seperti ini. Pertama adalah bagi pemerintah propinsi itu sendiri, dalam hal ini direpresentasikan oleh Dinas Pendidikan Propinsi. Karena Dinas Pendidikan tersebut bukanlah lembaga pelaksana teknis penyelenggaraan kependidikan maka dengan sendirinya yang bersangkutan tidak perlu lagi merepotkan diri untuk mencari tenaga-tenaga profesional yang bisa ditugaskan untuk mengerjakan hal-hal teknis penyelenggaraan Pra-UN tersebut, misalnya menyusun soal, menganalisa hasil, mengoreksi dan lain-lain. Yang kedua adalah bagi para guru mata pelajaran/diklat yang di-UN-kan. Karena yang bersangkutan terlibat aktif dalam pelaksanaa kegiatan teknis penyelenggaraan program tersebut maka mau tidak mau, suka atau tidak mereka dengan sendirinya akan berusaha untuk meningkatkan kompetensi dan profisiensi mereka agar mereka mampu mengerjakan tugas-tugas tersebut. Dengan demikian secara tidak langsung sebenarnya Dinas Pendidikan telah mendapatkan keutungan ganda yaitu meringankan tugas-tugas mereka baik dalam hal penyelenggaraan Pra-UN dimaksud maupun tugas dan tanggung jawab dia sebagai pembina personil tenaga kependidikan.

Selain prosedur pelaksanaan, ketepatan waktu penyelenggaraan juga menjadi bagian yang tak kalah penting yang harus diperhatikan. Hal ini disebabkan karena hasil dari pelaksanaan tes pada Pra-UN tersebut akan sangat berguna bagi masing-masing sekolah untuk memfokuskan penekanan materi pengayaan sesuai dengan kelemahan yang dimiliki oleh siswa-siswinya dalam menghadapi UN. Dengan demikian pelaksanaan Pra-UN tersebut hendaknya dilakukan jauh hari sebelum mereka mengikuti UN. Makanya ibarat setali dua uang. Disamping pelaksanaan tes tersebut telah dilakukan jauh hari sebelum UN, penerapan pola desentralistik dengan waktu yang dibutuhkan relatif lebih pendek pada pelaksanaan kegiatan tersebut tentu akan mampu memberi sisa waktu yang cukup lama bagi masing-masing sekolah penyelenggara Pra-UN dalam melakukan persiapan/pengayaan bagi siswa-siswinya sebelum mengikuti UN. Dengan pola ini tentu diharapkan hasil yang akan dicapai akan optimal atau paling tidak lebih baik daripada cara ‘konvensional’ yang telah dilakukan beberapa waktu yang lalu.

D. TINDAK LANJUT
Model yang saya tawarkan di atas tentu tidak akan pernah mampu mengubah hasil yang telah dicapai pada penyelenggaaraan Pra-UN yang lalu. Yang diperlukan adalah adanya keinginan (good will) dan kemauan politik (political will) dari pemerintah dalam hal ini Dinas Pendidikan Propinsi Kalimantan Timur untuk mengimplementasikannya atau mengubah kebijaksanaann pelaksanaan Pra-UN tersebut pada waktu-waktu yang akan datang. Terhadap rendahnya pencapian standar nilai kelulusan yang diperoleh oleh siswa-siswi kita pada Pra-UN yang lalu dengan waktu yang begitu sedikit tersisa, rasanya amat sangat sulit untuk menentukan langkah-langkah apa yang patut kiranya dilakukan oleh pemerintah dan penyelenggara pendidikan baik sekolah penyelenggara maupun masyarakat pada umumnya di Kalimnatan Timur guna menyikapi hasil tersebut. Namun demikian, berikut ini beberapa alternatif kegiatan atau hala-hal yang patut dipertimbangkan untuk dilaksanakan baik oleh pemerintah, sekolah, orang tua siswa maupun siswa-siswi yang akan menghadapi UN yang akan datang;

D.1. PEMERINTAH DAN SEKOLAH SEBAGAI PENYELENGGARA PENDIDIKAN
Jika memperhatikan hasil pencapaian nilai standar kelulusan pada pelaksanaan Pra-UN tersebut, patut dimaklumi kalau sebagian kalangan baik pendidik, pemerintah dan masayarakat pada umumnya merasa sangat khawatir atas keberhasilan anak-anak didik kita dalam mengikuti UN yang akan datang. Untuk menyikapi hal ini hendaknya kita tidak merasa gamang dan kehilangan arah. Apa yang tersurat pada laporan nilai Pra-UN anak-anak kita tersebut, tanpa mengurangi keberadaannya, tentu tidak bisa dijadikan satu-satunya alat untuk memponis bahwa kegagalan akan dialami oleh sebagian besar dari mereka dalam mengikuti UN yang akan datang. Nilai Pra-UN tersebut hanyalah sebatas prediksi. Namun demikian, tetap juga bisa dijadikan pedoman paling tidak untuk membuat langkah-langkah antisipatif untuk meningkatkan ketercapaian nilai pada UN dimaksud. Untuk itu, pemerintah sebagai pemegang kendali dan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam mengantar mereka meraih kesuksesan dalam mengikuti UN tersebut. Dalam waktu yang tersisa cukup singkat ini sesungguhnya tidak banyak yang bisa kita lakukan. Namun demikian, ada beberapa alternatif kegiatan atau hal-hal yang patut kiranya dipertimbangkan untuk dilaksanakan, antara lain;

1. Memberikan Reward Bagi Siswa dan Guru Mata Pelajaran Yang di-UN-kan
Pola yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Kota Balikpapan dengan memberikan reward berupa keringanan biaya studi ke jeniang yang lebih tinggi/beasiswa/dana pembinaan prestasi bagi siswa dan guru yang mampu mewujudkan pencapaian nilai 10 terbaik untuk masing-masing mata pelajaran/diklat yang di-UN-kan di masing-masing jenjang pendidikan (Smart Morning News & Radio Talks, SMART FM, 22 April 2006) mestinya bisa menjadi contoh bagi pemerintah propinsi, kabupaten/kota lainnya serta sekolah sebagai penyelenggara pendidikan. Dengan pemberian reward semacam ini sedikit banyak akan memberikan motivasi yang tinggi minimal bagi siswa dan guru bersangkutan untuk berusaha meraih nilai yang setinggi-tingginya. Bukankah dari beberapa kajian dan pengalaman empirik menunjukkan bahwa motivasi kadangkala bisa mengubah dari sesuatu yang dirasa tidak mungkin dilaksanakan menjadi bisa direalisasikan ? Semangat ini hendaknya bisa diberdayakan secara optimal dalam waktu yang cukup singkat ini.

2. Lakukan Persiapan Intensif (Intensive Test Preparatory)
Sekolah-sekolah penyelenggara UN hendaknya dapat melakukan persiapan secara intensif (intensive test preparatory) dengan materi pengayaan mengacu keapada kisi-kisi soal pada buku Panduan Pelaksanaan Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2005/2006 yang diterbitkan secara resmi oleh Puspendik Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia 2005 atau soal-soal Pra-UN. Intensif artinya adalah adanya alokasi waktu yang lebih banyak dan kelompok peserta persiapan yang dibagi bukan berdasarkan kelas/jurusannya, tetapi berdasarkan pencapaian nilai Pra-UN yang dikeluarkan oleh Depdiknas Propinsi Kalimantan Timur beberapa waktu yang lalu. Jika waktu yang tersedia/tersisa dirasa masih cukup, soal-soal Pra-UN tersebut hendaknya dikembangkan dalam berbagai bentuk namun tidak keluar dari ranah pengetahuan dan keterampilan yang telah ditetapkan dalam Standar Kompetensi Lulusan-SKL yang diujikan secara nasional seperti yang tertera pada buku Panduan Pelaksanaan Ujian Nasional tersebut. Ini penting karena dengan cara ini kemungkinan memiliki soal-soal yang sama atau minimal mirip dengan yang diujikan pada UN menjadi sangat tinggi. Dengan demikian, para siswa yang akan mengikuti UN yang akan datang akan terbiasa mengerjakan soal-soal seperti itu yang pada akhirnya tentu akan membuka peluang bagi mereka untuk memperoleh nilai yang setinggi-tingginya pada tes tersebut.

Disamping aspek-aspek tersebut di atas, khusus untuk mata pelajaran/diklat bahasa Inggris, fokus pembahasan materi/soal-soal hendaknya dilakukan pada bagian ‘Reading Section’ karena dari hasil survey menunjukkan bahwa bagian tes tersebut bisa memberikan kontribusi perubahan nilai yang cukup signifikan bila dibandingkan dengan ‘Listening Section’ apabila persiapan dilakukan dalam waktu yang relatif singkat.

Secara teknis, gunakan ‘TIP dan TRIK’ dalam menjawab soal-soal tertentu. Dengan cara ini, siswa tidak hanya bisa menjawab dengan tepat tetapi juga cepat. Khusus untuk mata pelajaran/diklat bahasa Inggris, ‘TIP dan TRIK’ dapat diperoleh secara cuma-cuma di ETTC Kota Balikpapan (SMKN 1 Balikpapan) dengan terlebih dahulu mengirim e-mail permintaan kepada : syamsul_etc@yahoo.com.

D.2.SISWA DAN ORANG TUA SISWA
Siswa sebagai obyek dari penyelenggaraan Ujian Nasional tentu memiliki peranan yang sangat signifikan dalam menentukan apakah dirinya akan mampu meraih kesuksesan dalam tes tersebut. Dialah yang paling tahu kelemahan dan kekuatan yang ia miliki dalam melaksanakan ujian dimaksud. Dengan demikian, dibawah bimbingan orang tua dan guru-gurunya, dialah pula yang semestinya harus tahu apa yang harus dilakukan untuk mengatasi kelemahannya tersebut. Walaupun demikian, beberapa hal berikut ini perlu kiranya dipertimbangkan untuk dilaksanakan sebaik mungkin.

1. Gunakan waktu sebaik mungkin baik di rumah maupun di sekolah untuk membahas/mempelajari berbagai bentuk soal yang pernah di-UN-kan minimal pada ketiga periode sebelumnya.

2. Dalam membahas/mempelajari soal-soal tersebut, fokuskan pada hal-hal yang dirasa masih sulit dipahami/dijawab. Skala prioritas seperti ini sangat penting mengingat waktu yang tersisa untuk melakukan pengayaan terhadap materi-materi tersebut sangat sedikit. Jika tidak maka pemahaman terhadap materi-materi dimaksud akan terbawa kemana-mana sehingga penggunaan waktu akan menjadi tidak efisien.

3. Apabila mengalami kesulitan dalam memecahkan persoalan-persoalan tertentu pada soal-soal dimaksud, siswa hendaknya berusaha untuk menganalisa sendiri hal tersebut semaksimal mungkin. Ini dilakukan untuk membiasakan diri untuk mengoptimalkan kemampuan berfikir mereka karena dalam mengikuti tes yang sesungguhnya hal seperti ini pasti akan dilaluinya. Ingat, tak seorangpun yang bisa membantu siswa tersebut kecuali diri mereka sendiri. Namun dalam kondisi dimana solusi sama sekali tidak bisa dibuat sendiri, maka siswa bersangkutan dapat meminta penjelasan dari guru mata pelajaran terkait apabila guru tersebut berada bersama dengannya. Jika hal ini dialami dirumah, diamana tidak seorang pun yang bisa membantu maka siswa hendaknya mencatat masalah-masalah tersebut dan tanyakan hal itu segera pada saat mengikuti ‘Intensive Test Preparatory’.

4. Orang tua siswa hendaknya ikut terlibat dalam memantau dan mengawasi kegiatan putra-putrinya selepas sekolah. Selalu ingatkan mereka untuk tetap fokus pada pengayaan mata pelajaran/diklat yang di-UN-kan. Berikan mereka pemahaman bahwa kegagalan dalam meraih nilai standar kelulusan pada UN yang akan datang akan membuat mereka tertinggal untuk melanjutkan studinya dan ini tentu menjadi beban ekonomi keluarganya. Lebih dari itu, rasa malu baik sesama komunitas siswa lainnya dan masayarakat sekitar tentu menjadi beban sosial yang harus ditanggungnya.

E. KESIMPULAN
Penyelenggaraan Pra-UN dengan substansi dan mekanisme seperti yang telah dilaksanakan di Propinsi Kalimantan Timur beberapa waktu yang lalu memiliki tingkat efektifitas dan akuntabilitas yang rendah baik ditinjau dari sudut pandang pedagogi, politik maupun ekonomi. Dengan demikian, substansi dan mekanismenya harus dibenahi. Pembenahan substansi pelaksanaan tes tersebut hendaknya dilakukan pada dua hal yang paling mendasar yakni; isi tes (test contents) dan laopran hasil test (report of test result). Sedangkan pembenahan dalam tataran mekanisme dapat dilakukan pada hal-hal yang berhubungan dengan prosedur dan waktu pelaksanaan tes. Dengan pembenahan ini, diharapkan test tersebut pada akhirnya benar-benar akan mampu menjalankan fungsinya sebagai alat diagnosa (diagnostic test) atas kekurangan dan kelebihan siswa-siswi kita dalam mengikutu Ujian Nasional.

Walaupun demikian, hasil dari pelaksanaan tes tersebut tetap juga bisa digunakan paling tidak sebagai acuan umum untuk menentukan langkah-langkah antisipatif dalam menghadapi Ujian Nasional yang akan datang. Untuk melaksanakan hal ini, peran dan keterlibatan aktif semua pihak baik pemerintah, sekolah, orang tua siswa maupun siswa sebagai obyek dan/atau subyek dari penyelenggaraan ujian tersebut sangat diharapkan. Dengan partisipasi dan keterlibatan pihak-pihak dimaksud secara optimal, hasil yang akan diperoleh dalam pelaksanaan UN yang akan datang tentu bisa dicapai secara maksimal. Semoga !


Balikpapan, 21 April 2006
Penulis,

Syamsul Aematis Zarnuji
Direktur English Training & Testing Center – ETTC Kota Balikpapan
Staf Pengajar Politeknik Balikpapan/SMK Negeri 1 Balikpapan
Telp. +62 542 761941 (office) 877635 (home)
Fax. +62 542 761985
Mob. 0811531471
E-mail : syamsul_etc@yahoo.com

BAHASA INGGRIS SEBAGAI BAHASA KEDUA DI KOTA BALIKPAPAN

Wacana menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua di kota Balikpapan yang dikemukakan oleh walikota Balikpapan beberapa waktu yang lalu telah memunculkan berbagai tanggapan dari berbagai pihak. Ada yang melihatnya sebagai sebatas wacana saja yang mustahil diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Namun tidak sedikit pula yang melihatnya sebagai sesuatu yang patut didukung mengingat potensi yang dimiliki oleh kota Balikpapan sebagai kota jasa dan industri serta pintu gerbang propinsi Kalimantan Timur bahkan pulau Kalimantan menuntut adanya penguasaan komunikasi tidak hanya antar kota atau wilayah di Indonesia tetapi juga antar negara. Pertanyaannya kemudian, mungkinkah hal tersebut bisa diaktualisasikan dan apa saja langkah-langkah yang harus diambil oleh pemerintah dan masayarakat kota Balikpapan untuk merealisasikan ide tersebut ?

BAHASA DALAM KONTEKS FILOSOFIS AKADEMIK
Sering sekali publik dibingungkan oleh penggunaan istilah first language, second language dan foreign language. Jika diterjemahkan secara harfiah istilah-istilah tersebut secara berturut-turut menjadi bahasa pertama, bahasa kedua dan bahasa asing.
Dalam konteks filosofis akademik, bahasa pertama diinterpretasikan sebagai bahasa yang pertama kali dipelajari atau dikomunikasikan sejak seseorang dilahirkan. Bahasa pertama ini biasanya tidak diperoleh melalui pembelajaran secara formal tapi diakusisi secara alamiah dari lingkungan dimana seseorang berada. Dalam bahasa Inggris penyebutan bahasa pertama atau first language juga sering diganti dengan istilah mother tongue atau bahasa ibu. Di beberapa kota besar di Indonesia seperti kota Balikpapan misalnya, bahasa Indonesia telah menjadi bahasa pertama bagi kebanyakan keluarga mengingat latar belakang mereka yang sangat heterogen sehingga bahasa daerah, yang bagi sebagian orang bisa saja menjadi bahasa pertama mereka, tidak digunakan lagi.
Bahasa kedua atau second language adalah bahasa yang dipelajari atau dikomunikasikan setelah bahasa pertama. Biasanya bahasa kedua ini dipelajari secara formal di bangku sekolah dan menjadi salah satu pilihan dalam berkomunikasi selain bahasa pertama. Masyarakat Indonesia pada umumnya mengkomunikasikan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua mengingat sebagian besar dari mereka hidup di pedesaan yang sejak dilahirkan hingga masuk sekolah sehari-harinya berkomunkasi dalam bahasa daerah dimana mereka tinggal. Namun demikian tak sedikit pula dari mereka yang mengkomunikasikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama mereka dan menempatkan bahasa asing atau foreign language sebagai bahasa kedua mereka. Salah satu bahasa asing dimaksud adalah bahasa Inggris.
Menyimak uraian di atas, cukup jelas kiranya bahwa bahasa pertama dan bahasa kedua memiliki perbeadaan yang cukup signifikan terutama pada urutan dan cara pembelajarannya. Sedangkan istilah bahasa asing sering kali digunakan untuk mengganti penggunaan istilah bahasa kedua demikian pula sebaliknya, walaupun ada juga sebagian kalangan yang memberi perbedaan yang sangat tipis pada kedua terminologi tersebut.

BAHASA INGGRIS SEBAGAI BAHASA KEDUA
Berdasarkan pemahaman terhadap apa sesungguhnya bahasa kedua atau second language tersebut maka tidak ada kata tidak mungkin untuk menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua terlebih lagi di kota Balikpapan. Hal ini sekali lagi apabila dilihat dari sudut pandang filosofis akademik yang dimiliki oleh bahasa tersebut, bukan dari seberapa banyak dan seberapa sering sebuah komunitas mengkomuniksikan bahasa dimaksud karena memang hal tersebut di luar dari koridor pendefinisian istilah second language yang telah diuraikan sebelumnya. Ketika sebuah komunitas mempelajari dan/atau mengkomunikasikan bahasa Inggris sebagai salah satu pilihan setelah bahasa pertama yang bersangkutan, maka sesungguhnya bahasa Inggris tersebut telah menjadi second language atau bahasa kedua mereka dan itulah yang bisa kita lihat saat ini. Cukup banyak putra-putri kita, bapak-bapak pejabat kita, para praktisi bisnis, kalangan professional dan publik pada umumnya berlomba-lomba mengasah kemampuan komunikasi bahasa Inggris mereka di berbagai kursus atau lembaga pelatihan di kota tercinta ini. Adalah sebuah bukti nyata bahwa sesungguhnya bahasa Inggris tersebut telah menjadi bahasa kedua bagi mereka setelah bahasa Indonesia.
Terlepas dari itu semua, yang menjadi permasalahan kemudian adalah seberapa banyak warga Balikpapan yang mampu mengkomunikasikan bahasa Ingris tersebut dengan aktif ? Sudah optimalkah bahasa tersebut digunakan dalam berbagai aktifitas baik di lingkungan formal maupun non formal ? Kalau itu tolok ukur yang dipakai oleh pemerintah atau publik pada umumnya sehingga bahasa Inggris tersebut dapat dikatakan sebagai bahasa kedua di kota Balikpapan maka perlu kiranya pemerintah memikirkan dan melakukan berbagai pendekatan dan langkah-langkah strategis guna meningkatkan kualitas dan kuantitas pemakaian bahasa Inggris tersebut di kota Balikpapan.

PENGGUNAAN BAHASA INGGRIS SEBAGAI BAHASA KEDUA DI KOTA BALIKPAPAN
Bila tolok ukur penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua di kota Balikpapan adalah terletak pada seberapa banyak warganya yang mampu mengkomunikasikan bahasa tersebut baik dalam kegiatan formal maupun non formal serta seberapa sering bahasa tersebut dipakai dalam kegiatan-kegiatan dimaksud, maka patut kita merasa bersedih bahwa dari hampir 500 ribu penduduk kota Balikpapan, dipastikan bahwa tidak sampai 5 % dari penduduknya yang mampu mengkomunikasikan bahasa Inggris tersebut dengan aktif (Dalam berbagai referensi diprediksi bahwa seseorang yang mengkomunikasikan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua atau asing akan mampu mengkomunikasikan bahasa tersebut secara aktif dalam kehidupan sehari-hari mereka apabila mereka mampu memperoleh nilai minimal 500 untuk PBT TOEFL atau kurang lebih 625 untuk TOEIC). Di kalangan masyarakat terdidik khususnya, hasil survey menunjukkan bahwa kurang dari 10 % dari 100 responden yang telah diuji kemampuan bahasa Inggrisnya yang dikategorikan mampu mengkomunikasikan bahasa tersebut dengan aktif. Yang lebih menyedihkan lagi adalah dialami oleh mereka-mereka yang memiliki tugas mengajar disiplin ilmu tersebut yang seharusnya memiliki tingkat penguasaan komunuikasi bahasa dimaksud jauh lebih baik daripada golongan masyarakat lainnya. Hasil pengujian bahasa Inggris dengan menggunakan tes berstandar internasional; Test of English for International Communication – TOEIC bagi 172 guru bahasa Inggris SD, SLTP dan SLTA se-kota Balikpapan menunjukkan bahwa hanya 18 orang atau 10,45 % dari mereka yang dikategorikan mampu menggunakan bahasa tersebut untuk berkomunikasi dengan aktif. Hal ini memiliki korelasi yang cukup signifikan dengan kondisi siswa yang menjadi bagian integral dari proses pembelajaran bahasa tersebut. Dari 6.275 siswa SLTA tingkat akhir kota Balikpapan yang diuji profisiensi bahasa Inggrisnya dengan menggunakan tes yang sama dari tahun 2001 hingga 2005, ditemukan bahwa hanya 327 siswa yang mampu meraih nilai 625 ke atas atau setara dengan 5,21 % (Sumber : English Training & Testing Center - ETTC Kota Balikpapan, 2005).
Dalam hal intensitas penggunaan bahasa tersebut di lingkungan masyarakat dan pemerintah kota Balikpapan pun masih jauh dari yang diharapkan. Tidak jarang ditemukan berbagai fasilitas publik, dokumen-dokumen pemerintah, perangkat-perangkat pendidikan dan pelatihan serta acara-acara resmi yang bertaraf internasional sekalipun tidak dilengkapi dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pendamping bahasa nasional kita. Padahal diyakini bahwa hal tersebut bisa secara tidak langsung memotivasi dan mendukung seseorang untuk menguasai dan mengkomunikasikan bahasa tersebut dalam kehidupan sehari-hari mereka. Tidak hanya itu, Balikpapan sebagai pintu gerbang pulau Kalimantan sekaligus sebagai kota jasa dan industri dimana mobilisasi warga asing baik untuk keperluan bisnis maupun darmawisata relatif cukup tinggi, penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua tentu akan sangat membantu memperlancar segala urusan mereka, dan yang tak kalah penting adalah hal ini tentu akan mampu memberi pencitraan yang luar biasa dan pada akhirnya akan meninggalkan kesan tersendiri bagi pengunjungnya.
Apabila seperti itu keadaannya, cukup rasionalkah kita berharap jika bahasa Inggris tersebut akan mampu memposisikan dirinya sebagai bahasa kedua di kota Balikpapan ? Hal apa saja yang perlu diperhatikan untuk segera dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat kota Balikpapan dalam rangka mewujudkan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua ?
POTENSI INTERNAL DAN EKSTERNAL
Melihat potensi internal dan eskternal yang dimiliki oleh kota Balikpapan, rasanya tidak ada alasan bagi siapapun untuk merasa pesimis dalam rangka menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua di kota Balikpapan. Ada beberapa potensi internal yang dimiliki oleh kota tersebut, antara lain;
1. Balikpapan adalah pintu gerbang Kalimantan Timur, bahkan pulau Kalimantan. Posisi dan peran strategis kota tersebut tentu akan mampu membuat frekwensi interaksi antar masyarakat lokal dan internasional dengan menggunakan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Dengan demikian, kondisi ini akan mendorong masyarakatnya untuk mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris yang pada akhirnya akan mempercepat proses pengimplementasian bahasa Inggris sebagai bahasa kedua di kota Balikpapan.

2. Balikpapan adalah sebuah kota jasa dan industri dimana terdapat banyak sekali perusahaan nasional, multinasional dan asing yang melakukan berbagai aktifitas bisnis baik yang berskala lokal, nasional maupun internasional. Dalam konteks penyelenggaraan bisnis berskala internasional, penggunaan bahasa Inggris menjadi sebuah keharusan bagi semua pihak yang terlibat pada sektor dimaksud. Dengan demikian kondisi tersebut akan mendorong percepatan pengimplementasian bahasa Inggris sebagai bahasa kedua di kota Balikpapan.

3. Bahasa Inggris telah menjadi mata pelajaran wajib bagi seluruh siswa pada sekolah menengah tingkat pertama dan sekolah menengah tingkat atas, yang kedudukannya sejajar dengan bahasa Indonesia dan pelajaran-pelajaran wajib lainnya. Dengan demikian, proses penguasaan bahasa tersebut menjadi suatu keharusan bagi setiap siswa sehingga hal ini akan mempercepat proses pengimplementasian bahasa Inggris sebagai bahasa kedua di kota Balikpapan.

4. Partisipasi atau animo masyarakat Kota Balikpapan untuk mengikuti berbagai kursus bahasa Inggris cukup tinggi. Data menunjukkan bahwa dari 100 penduduk kota Balikpapan pada lingkup masyarakat berpendidikan dan memiliki tingkat ekonomi menengah ke atas , kurang lebih 31.22 % pernah dan atau masih aktif mengikuti kursus-kursus dimaksud di berbagai lembaga pelatihan di Kota Balikpapan (Sumber : English Training & Testing Center - ETTC Kota Balikpapan, 2005).

5. Kota Balikpapan memiliki sejumlah lembaga pelatihan swasta yang memfokuskan diri pada kursus-kursus bahasa Inggris. Keberdaan lembaga-lembaga tersebut memberikan andil yang cukup signifikan terhadap percepatan penguasaan dan atau penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua di Kota Balikpapan.

6. Pemerintah Kota Balikpapan memiliki komitmen yang cukup tinggi terhadap peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia yang menjadi ujung tombak pelaksanaan pendidikan dan pelatihan bahasa Inggris di kota Balikpapan. Salah satu indikasi dari hal tersebut adalah dengan dilaksanakannya program pengiriman guru-guru bahasa Inggris ke Australia untuk mengikuti pelatihan Intensive English & TESOL Program di University of Southern Queensland Australia beberapa waktu yang lalu.

Disamping potensi internal, kota Balikpapan juga memiliki potensi eksternal yang bisa menjadi salah satu aspek pendukung program pengimplementasian bahasa Inggris sebagai bahasa kedua di kota tersebut. Salah satu dari potensi-potensi tersebut adalah adanya kebijakan pemerintah pusat yang memberikan otonomi seluas-luasnya kepada pemerintah daerah untuk memanfaatkan dan mengembangkan segala bentuk sumber daya yang dimilikinya dalam rangka memajukan daerah atau wilayahnya masing-masing. Konsekwensi logis dari kebijakan tersebut adalah adanya kewenangan pemerintah daerah untuk menata dan atau mengelola sistem dan perundang-undangan di daerah masing-masing agar dapat memberi kontribusi positif bagi pembangunan daerah tersebut, termasuk di dalamnya bagaimana mendisain sebuah sistem pengimplementasian pendidikan dan pelatihan bahasa Inggris yang mampu mengakomodir kepentingan masyarakat di wilayah atau daerah dimaksud termasuk peluang untuk menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua di kota Balikpapan.

TANTANGAN INTERNAL DAN EKSTERNAL
Dalam mengimplementasikan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua di kota Balikpapan, ada beberapa hal yang bisa menjadi kelemahan sekaligus menjadi tantangan bagi penyelenggara pemerithan khusunya dan masyarakat kota Balikpapan pada umumnya baik secara internal maupun eksternal, antara lain ;
1. Kualitas dan kuantitas sumber daya manusia yang menjadi ujung tombak pelaksanaan pendidikan dan pelatihan bahasa Inggris di kota Balikpapan masih relatif rendah bila dibandingkan dengan tingkat ekspektasi masyarakat terhadap sistem pelaksanaan pendidikan dan pelatihan serta output yang dihasilkan dari proses tersebut.

2. Ketersediaan fasilitas pendukung yang berhubungan langsung dengan proses pembelajaran dan pemerolehan bahasa Inggris masih belum memadai. Oleh karena itu, hal ini bisa saja menjadi salah satu kendala dalam rangka mengimplementasikan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua di kota Balikpapan.

3. Rendahnya tingkat pemahaman masyarakat pada umumnya terhadap pemaknaan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua sehingga menyebabkan munculnya perasaan apriori dan skeptis terhadap kemungkinan pengimplementasian bahasa tersebut sebagai bahasa kedua di kota Balikpapan.

4. Tingginya ekspektasi masyarakat pada umumnya serta dunia usaha dan industri khususnya terhadap penguasaan komunikasi bahasa Inggris baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam melaksanakan tugas atau pekerjaan sesuai dengan profesi masing-masing.

5. Bahasa Inggris telah menjadi bahasa internasional yang dikomunikasikan oleh sebagian besar penduduk dunia dalam melaksanakan berbagai kegiatan baik kegiatan pendidikan, politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Oleh karenanya tuntutan akan penguasaan bahasa Inggris tersebut menjadi sangat tinggi.
6. Bahasa Inggris telah menjadi pilihan kedua setelah bahasa Indonesia bagi sebagian besar masyarakat kota Balikpapan. Hal ini berarti bahwa skala prioritas pembelajaran dan atau penguasaan bahasa inggris menjadi sangat penting.

STRATEGI IMPLEMENTASI
Memperhatikan tingginya potensi yang dimiliki oleh kota Balikpapan bila dibandingkan dengan tantangan atau kelemahan yang dimilikinya maka peluang untuk menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua di kota Balikpapan sangatlah terbuka. Namun demikian, untuk mempercepat terealisasinya gagasan tersebut, berikut ini adalah beberapa hal yang patut dipertimbangkan untuk segera dilakukan oleh pemerintah dan masayarakat kota Balikpapan pada umumnya guna mendukung wacana tersebut.
1. Pemerintah hendaknya segera memberikan payung hukum yang bisa mendorong bahkan jika mungkin mengikat semua warga kota Balikpapan untuk mempelajari dan/atau memakai bahasa Inggris untuk berkomunikasi dalam kegiatan-kegiatan tertentu seperti acara-acara resmi yang dihadiri oleh tamu asing, kegiatan pendidikan dan pelatihan, seminar, konferensi, penulisan dokumen-dokumen resmi pemerintah, pemberian nama-nama tempat atau fasilitas umum, peta kota (city map/directory), tanda penunjuk jalan atau arah dan lain sebagainya. Payung hukum tersebut bisa saja dalam bentuk surat keputusan walikota atau dituangkan dalam bentuk peraturan pemerintah daerah (PERDA). Pemberlakuan aturan berkomunikasi dan pengadaan media dan pemberian nama fasilitas-fasilitas publik dalam bahasa Inggris seperti yang telah diuraikan di atas secara tidak langsung akan memotivasi sekaligus membantu warga kota Balikpapan dalam menguasai dan mengkomunikasikan bahasa tersebut baik dalam kehidupan formal maupun kegiatan sehari-hari mereka.
2. Masukkan pembiayaan pengimplementasian bahasa Inggris sebagai bahasa kedua di kota Balikpapan dalam anggaran belanja daerah setiap tahun. Anggaran tersebut utamanya diperuntukkan bagi penyediaan fasilitas pendukung program tersebut serta pendidikan dan pealatihan bahasa Inggris bagi guru bahasa Inggris dan non bahasa Inggris, personil pemerintah dan warga kota Balikpapan pada umumnya.
3. Tingkatkan status serta optimalkan keberdaan Pusat Pelatihan dan Pengujian Bahasa Inggris (English Training & Testing Center) Kota Balikpapan sesuai dengan tugas pokok, fungsi dan tanggung jawab lembaga tersebut sebagaimana tertera dalam surat keputusan Kepala Dinas Pendidikan Kota Balikpapan nomor : 291/26.16/MNz/2005, tanggal 5 Maret 2005.
4. Bangun Digital English Library - DEL atau Public English Self Access Center-PESAC yang bisa diakses secara cuma-cuma dan mandiri oleh warga kota Balikpapan.
5. Berdayakan 30 peserta alumni program pendidikan Intensive English & TESOL Program yang telah dilaksanakan di University of Southern Queensland-Australia beberapa waktu yang lalu dengan cara menugaskan mereka sebagai tentor bagi para guru bahasa Inggris di kota Balikpapan yang belum mencapai standar profisiensi dan kompetensi yang telah ditetapkan.
6. Laksanakan pelatihan bahasa Inggris reguler secara berjenjang sesuai dengan urgensitas masing-masing bidang mulai dari pengambil keputusan dalam hal ini personnel pemerintah, pelatih atau guru bahasa Inggris, pengelola lembaga-lembaga pealtihan dan masyarakat kota Balikpapan pada umumnya.
7. Tingkatkan pemberdayaan Forum Diskusi Bahasa Inggris Kota Balikpapan atau Balikpapan English Teachers Discussion Forum yang telah dibentuk oleh 150 guru bahasa Inggris se-kota Balikpapan beberapa waktu yang lalu dengan melakukan berbagai diskusi bahasa Inggris sesering mungkin.
8. Bentuk Balikpapan English Society - BES, sebuah wadah yang dibangun oleh dan untuk komunitas masyarakat Balikpapan yang perduli akan urgensitas penggunaan bahasa Inggris baik di tempat kerja maupun di dalam kehidupan sehari-hari mereka.
9. Lakukan program Penginterpretasian/Pengalihbahasaan Dokumen - Dokumen Resmi yang biasa digunakan di dalam Lembaga Pendidikan dan Pelatihan serta kepemerintahan ke dalam bahasa Inggris.
10. Lakukan pemasangan nama-nama tempat dan atau fasilitas pelayanan publik di lembaga-lembaga pendidikan, kantor-kantor pemerintah, jalan raya dan tempat-tempat umum di kota Balikpapan dalam 2 (dua) bahasa; Indonesia dan Inggris.
11. Dirikan ‘English Self Access Center-ESAC’ di setiap sekolah di Kota Balikpapan.
12. Optimalisasikan keberadaan instansi asing dan/atau pekerja asing (expatriate) sebagai salah satu sumber belajar bagi peningkatan dan kualitas dan mutu pendidikan bahasa Inggris di kota Balikpapan.
13. Lakukan Penerbitan berbagai sumber belajar bahasa Inggris dan bidang-bidang keahlian lainnya dalam bahasa Inggris, dan
14. Canangkan hari Komunikasi Bahasa Inggris di berbagai lembaga atau instansi baik pemerintah maupun swasta serta himbau semua pihak terutama pemerintah untuk menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua setelah bahasa Indonesia di berbagai kegiatan formal seperti pertemuan atau rapat dinas, pendidikan dan pelatihan, diskusi, seminar, konferensi, penulisan dokumen dan surat-surat resmi baik untuk kepentingan internal maupun external.

PENUTUP
Wacana pengimplementasian bahasa Inggris sebagai bahasa kedua atau English as a second language di kota Balikpapan hendaknya dimkanai tidak semata-mata berdasarkan konsep filosofis akademik yang terkandung di dalamnya, tetapi lebih jauh daripada itu, dan ini yang lebih penting, adalah bagaimana menempatkan hal tersebut dalam tataran implementatif yang sesungguhnya. Konsekwensi logis dari hal tersebut adalah bahwa meskipun dalam tataran konseptual terdapat cukup besar jumlah warga kota Balikpapan yang telah memposisikan bahasa Inggris tersebut sebagai bahasa kedua mereka, namun bila dilihat dari sudut pandang implementatif, tingkat penguasaan dan intensitas penggunaan bahasa tersebut masih jauh daripada yang diharapkan.
Mengingat penguasaan bahasa Inggris memiliki peranan yang cukup signifikan dalam berbagai aspek kehidupan seperti pendidikan, dunia kerja, ekonomi, sosial dan budaya baik dalam lingkup komunitas lokal, regional maupun internasional, sebagai kota jasa dan industri serta pintu gerbang Kalimantan Timur bahkan pulau Kaliamantan, pemerintah dan warga kota Balikpapan hendaknya mempersiapkan diri dengan keterampilan komunikasi bahasa Inggris tersebut. Salah satu alternatif yang bisa ditempuh adalah dengan melaksanakan berbagai program strategis dan terencana seperti yang tertuang dalam Strategi Pengimplementasian Bahasa Inggris Sebagai Bahasa Kedua di Kota Balikpapan.
Dengan melaksanakan program-program tersebut di atas, diharapakan agar pengimplementasian bahasa Inggris sebagai bahasa kedua di kota Balikpapan dapat direalisasikan dengan segera yang pada akhirnya hal tersebut akan bisa menjadi salah satu keunggulan atau kelebihan yang dimiliki oleh kota Balikpapan guna menciptakan daya saing warganya semakin tinggi. Dengan menguasai dan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua dalam berbagai kegiatan yang dilakukannya, warga kota Balikpapan sesungguhnya telah menunjukkan kepada dunia bahwa mereka mampu bersaing atau setidaknya menjadi bagian dari persaingan tersebut tidak hanya dalam komunitas lokal, regional tetapi juga internasional. Ini semua tentu akan menjadi salah satu kontribusi nyata pemerintah dan masyarakat kota Balikpapan dalam rangka mewujudkan cita-cita mulyanya ; menjadikan warga kota Balikpapan sebagai tuan di negeri sendiri. Semoga !

Balikpapan, 1 April 2006
Penulis,

Syamsul Aematis Zarnuji
Direktur English Training & Testing Center – ETTC Kota Balikpapan
Staf Pengajar Politeknik Balikpapan/SMK Negeri 1 Balikpapan
Telp. +62 542 761941 (office) 877635 (home)
Fax. +62 542 761985
Mob. 0811531471
E-mail : syamsul_etc@yahoo.com

SMK MASIH MENJADI PILIHAN KEDUA ATAU KELAS DUA ? : SEBUAH KAJIAN DARI SUDUT PANDANG PERSEPSI DAN APRESIASI MAYARAKAT TERHADAP PENDIDIKAN KEJURUAN

Membaca email yang ditulis rekan Sri Hewinarti dalam dikmenjur@yahoogroups.com, perihal Promosi Kompetensi Siswa yang tentu menjadi salah satu ajang pengenalan keberdaan SMK kepada masyarakat luas, saya menjadi tergelitik untuk sekedar berbagi dengan rekan-rekan yang lainnya menyambung hasil audiensi kami dengan Bapak Walikota Balikpapan, H. Imdaad Hamid, SE beberapa hari yang lalu perihal PERSEPSI dan APRESIASI MASYARAKAT TERHADAP KEBERADAAN SMK. Sesungguhnya sederhana, tetapi buat saya sulit juga menjawabnya. Apakah betul SMK itu masih menjadi pilihan kedua bagi masyarakat kita, atau memang ia telah 'ditakdirkan' menjadi lembaga pendidikan kelas dua. Wacana ini mengemuka, paling tidak di benak saya, manakala Pak Wali memberi sambutan mengenai tantangan yang dihadapi sekolah-sekolah kejuruan saat ini. Beliau mensinyalir bahwa saat ini masyarakat kita pada umumnya masih memposisikan sekolah-sekolah kejuruan (SMK) pada pilihan kedua, bahkan ketiga sebagai tempat putra-putri mereka menuntut ilmu. Beliau membeberkan contoh-contoh yang sangat gamblang dan kasat mata tentang 'tabiat' para pejabat, hartawan dan dermawan yang bergelimangan harta yang notabene bisa menjadi sumber 'pendapatan’ untuk mensejahterakan sekolah, begitu enggan menyekolahkan anak-anak mereka ke SMK. “Cukup banyak diantara pejabat-pejabat di lingkungan pemerintah kota ini yang diminta ‘berkampanye’, melaksanakan reuni dan program-program sosial lainnya di SMA-SMA favorit di kota ini oleh pihak pengelola sekolah tersebut dengan tujuan agar dapat memberikan bantuan bagi penyelenggaraan pendidikan di sekolah-sekolah dimaksud. Mereka dengan bangga melakukan ini karena memang mereka alumni dari sekolah-sekolah itu, seperti SMA 1 misalnya. Saya sendiri alumni sekolah tersebut”, jelasnya. Beliau lalu membandingkan keberadaan sekolah yang menjadi kebanggan kota Balikpapan itu dengan SMKN 1 Balikpapan. " Dari sisi manajemen saya tidak meragukan lagi, SMKN 1 pasti jauh lebih maju dari SMAN 1 karena ia telah mendapat pengakuan internasional dengan ISO-nya. Dari sisi produktifitas lulusan, anak-anak kita tamatan sekolah kejuruan pasti jauh lebih produktif daripada anak-anak kita tamatan SMA. Saya kira, saya dan sauadara-saudara semuanya tidak mungkin bisa memakai ini, sambil mengangkat handphonenya, tanpa kerja dari anak-anak kita lulusan SMK " urainya. "Tapi ironisnya, tidak banyak masyarakat kita yang tertarik menyekolahkan anak-anak mereka di SMK. Kalaupun ada, sebagian besar dari mereka adalah anak-anak petani, nelayan dan kalangan ekonomi menengah ke bawah. Saya prihatin sekaligus melihat ini sebagai sebuah tantangan bagi kita bersama, bagaimana mengubah paradigma masayarakat kita agar SMK, Politeknik, Community College dan sejenisnya bisa menjadi primadona tempat menuntut ilmu bagi anak-anak kita di kemudian hari", imbuhnya.

Dari sudut pandang Pak Wali, saya berani memastikan bahwa SMK itu masih menjadi PILIHAN KEDUA bagi kebanyakan masyarakat kita, bukan KELAS DUA. Kalau memang demikian, apa yang perlu kita lakukan supaya bisa menjadi PILIHAN PERTAMA ?

Menurut hemat kami, ada beberapa hal yang patut menjadi bahan pemikiran untuk diimplementasikan oleh setiap sistem dan/atau subsistem yang terlibat dalam pendidikan kejuruan pada umumnya agar ia bisa menjadi primadona bagi sebagian besar kalangan di dalam masyarakat kita.

Pertama, kita tentu harus tahu penyebab kenapa SMK menjadi pilihan kedua. Saya berasumsi bahwa salah satu faktor yang menyebabkan hal itu terjadi karena ketidakmampuan alumni-alumni kita dalam masyarakat untuk menempati posisi-posisi strategis yang akhirnya membentuk image bahwa sekolah di SMK itu tidak menjanjikan. Berapa banyak sih alumni SMK atau yang berlatar belakang pendidikan SMK yang bisa menjadi Manajer, General manajer bahkan Direktur di sebuah perusahaan atau bisa menjadi camat, walikota,bupati, gubernur atau presiden di lingkup pemerintahan ? Coba tanya pak Sutiyoso, apakah ia alumni SMK, pasti jawabannya tidak. Atau lebih ekstrim lagi pak SBY, pasti jawabnya SMAN 1 Pacitan, nggak SMKN 1 pacitan khan ?


Saya tahu rekan-rekan semua pasti memprotes saya. Wajar saja alumni SMK nggak bisa menduduki jabatan strategis karena mereka dari ‘sononya’ tidak ‘diformat’ untuk menjadi pejabat, manajer, direktur dan lain-lainnya. Mereka memang sudah di ‘bai’at’ untuk menjadi mekanik, tukang batu, tukang kayu, pelayan dan berbagai profesi tingkat dasar sebagai pekerja. Lalu, saya juga bisa balik bertanya, apa nggak boleh kita memformat anak-anak kita sejak masih di bangku SMK agar selepas SMK mereka sekolah tinggi-tinggi atau terjun ke dunia bisnis atau politik lalu jadi direktur, pejabat, atau wirausahawan yang sukses. Paling-paling kita dibatasi oleh grand strategi proyeksi lulusan SMK yang telah memposisikan ‘kaplingan’ langsung bekerja jauh lebih besar daripada melanjutkan studi atau berwiraswasta. Terus, apakah ini juga tidak boleh kita ubah ? Katakanlah tidak boleh. Lalu dari porsi yang sangat kecil tadi, sudahkah kita mengoptimalisasikan berbagai program yang bisa ‘mendongkrak’ kemampuan dan semangat mereka untuk melanjutkan studi selepas SMK misalnya melaui penelusuran minat dan bakat, kemampuan intelektua/IQ, bimbingan-bimbingan intensif masuk ke Perguruan Tinggi, dll . Tidak khan. Kalupun iya, mungkin hanya segelintir sekolah saja yang telah melakukannya. Singkatnya, saya belum melihat ada usaha dari pengelola SMK, bahkan sekolah sekaliber SMKN 1 Balikpapan pun, untuk membenahi hal tersebut. Padahal kenyataannya di lapangan, sebagai seorang guru yang telah bertugas 8 tahun di sekolah tersebut, saya melihat cukup banyak siswa yang memiliki potensi yang bisa dibina ke arah dimaksud.

Singkat kata, alumni, buat saya, tak ada bedanya dengan produk-produk lain yang bersebaran di antara berjuta-juta konsumen di sekitar kita, mulai dari konsumen kelas ‘bawah’ sampai pada konsumen kelas ‘atas’. Kalau produk-produk tersebut hanya laku untuk konsumen kelas bawah, itupun nggak ada jaminan semua kelas ‘bawah’ tersebut menggandrungi produk dimaksud, maka apresiasi atau image yang muncul juga terbatas dari kalangan bawah, demikian pula sebaliknya. Pertanyaannya, bagaimana produk-produk SMK dengan segala kekurangan dan kelebihannya ‘dipoles’ sehingga bisa memiliki nilai ‘jual’ yang tinggi yang pada akhirnya mampu membentuk image yang cemerlang di dalam masyarakat kita.

Penyebab yang kedua adalah kekurangmampuan dan/atau ketidakmauan kita menkomunikasikan keberadaan SMK tersebut kepada masayarakat. Sudah image-nya kurang bagus, ditambah lagi dengan keengganan kita, terutama SMK milik pemerintah, untuk mengekspos berbagai kelebihan yang dimilikinya, maka kita tidak bisa berharap banyak masyarakat akan mengubah mindsetnya tentang SMK. Suka atau tidak, sadar atau tidak, saat ini kita sudah masuk pada sebuah era dimana image, trend, pride dan sejenisnya menjadi 'starting point' yang amat sangat menentukan karakter masyarakat apakah akan memilih produk kita. Saat pertama kali mau mencicipi ‘Starbag Coffee’ misalnya, kesan pertama yang saya tangkap dari teman-teman saya adalah karena kren, tempatnya oke di Orchard Road, saat itu kebetulan saya lagi di Singapura. Kalau saya, terus terang karena penasaran aja, pengen tau starbug coffe itu kayak apa. Soalnya saban waktu saya mengikuti presentasi bisnis, para pakar marketing khususnya sering menjadikan produk tsb sebagai ‘icon’ dalam dunia pemasaran. Padahal kalau dari segi taste – nya, nggak jauh-jauh beda dengan kopi lokalan kita. So … kenapa orang-orang yang berduit kalau ke luar negeri minded banget sama produk tersebut ? Pasti bukan semata-mata karena kualitas dan rasanya bukan ?, tetapi lebih karena image yang ada dalam benak pelanggannya serta rasa penasaran mereka yang tinngi akan produk tersebut. Pertanyaannya kemudian, kenapa muncul image dan rasa keingin tahuan yang maha dahsyat akan produk itu ? Jawabnya sekalilagi pasti karena pengelola produk tersebut begitu ‘lihai’ mengkomunikasikan keunggulan-keunggulan yang dimilkinya. Pepatah yang mengatakan “Kalau memang mutiara, di dasar lautpun akan dicarinya”, untuk saat ini menurut saya sudah tidak berlaku lagi karena begitu banyak ‘mutiara- mutiara’ yang bisa kita peroleh tanpa harus menyelam ke dasar laut, tetapi cukup dengan duduk santai di depan televisi atau komputer, pesan, bayar lalu ‘mutiara-mutiara’ itu akan diantarkan ke tempat dimana kita berada.

Dari kedua hal tersebut di atas, saya melihat dua sisi yang berbeda tetapi berimplikasi pada satu muara yang sama yakni IMAGE dan RASA INGIN TAHU. Bukan berarti saya mengabaikan kualitas. Tapi paling tidak ini sebagai ‘starting point’ untuk menarik pihak-pihak yang selama ini tidak atau kurang tertarik dengan SMK. Bagi saya, bisnis apapun yang kita jalankan, CONTEXT & CONTENT adalah dua mata uang yang nggak boleh dipisahkan. CONTEXT yang menarik akan membentuk image yang bagus serta rasa ingin tahu yang maha dahsyat, sedangkan CONTENT yang cemerlang tentu akan menghasilakan kuwalitas yang bisa diandalkan. Jadi pertanyaannya, bagaimana kita membangun Image yang bagus dan rasa ingin tahu yang maha dahsyat dari masyarakat kita dalam kaitannya dengan keberadaan SMK saat ini ?

Yang bisa saya sarankan adalah lakukan kedua hal di atas. Kalau kita sama-sama bersepakat bahwa faktor yang menyebabkan image tentang keberadaan SMK di masayarakat belum memenuhi harapan kita adalah karena ketidakmampuan alumninya menduduki posisi-posisi strategis di berbagai lapangan pekerjaan serta ketidakmampuan kita mengkomunikasikan nilai-nilai ‘lebih’ yang dimiliki SMK kepada masayarakat luas, maka kita harus mengubah mindset serta grand startegi kita dalam mengelola lembaga tersebut.

Berikut ini adalah sekelumit dari hasil perenungan dan pengamatan saya yang mungkin layak dipertimbangkan oleh pengelola SMK untuk dilaksanakan dalam rangka menghasilkan tamatan yang memiliki daya saing yang bisa diandalkan :

1. Pertama-tama, tentukan ‘Graduates’ Absorbability Priority-GAP’ menjelang penerinmaan siswa baru di awal tahun ajaran. GAP ini menjelaskan dengan rinci perihal ‘mau diarahkan kemana/ke jenis lapangan pekerjaan apa’ siswa-siswa kita selepas SMK nanti serta persentase pemenuhan masing-masing arah/lapangan pekerjaan yang dituju tersebut. Penjelasan ini dapat digunakan sebagai acuan dalam membuat skala prioritas keterserapan tamatan. Walaupun hal ini sbenarnya telah ada dan menjadi grand strategi Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, menurut hemat saya, sejalan dengan otonomi pendidikan, hal ini bisa saja kita lakukan karena masing-masing daerah memiliki karakteristik dan potensi yang berbeda satu dengan yang lainnya serta dinamisasi permitaan ‘pasar’ terhadap lulusan kita relatif cukup tinggi. Dengan menentukan prioritas keterserapan tamatan lebih dini, pihak pengelola sekolah dapat dengan mudah mendisain sistem-sistem yang dibutuhkan untuk menjalankan program pendidikan dan pelatihannya sejak fase rekrutmen siswa baru hingga mereka tamat dari SMK tersebut.

2. Lakukan perubahan yang signifikan pada sistem rekrutmen siswa baru kita, mulai dari tahap promosi, pendaftaran hingga pada tahap seleksi. Tujuannya adalah agar kita bisa memperoleh input yang memiliki kualitas kemampuan baik dari segi intelektual maupun finansial yang bisa diandalkan. Perlu diingat bahwa sistem rekrutmen tersebut tentu harus tetap mengacu kepada GAP yang telah didisain sebelumnya.
A. PROMOSI.
Perlu kita maklumi bersama bahwa promosi ini adalah salah satu bagian dari proses komunikasi yang kita lakukan terhadap masyarakat luas sebagai stake holder kita agar mereka tahu benar apa yang menjadi kelebihan-kelebihan atau keunggulan dari program-program yang kita laksanakan di SMK. Untuk hal yang satu ini, sangat sedikit SMK yang telah melakukannya. Kalaupun ada, cara-cara yang ditempuh pun sungguh sangat konvensional dan kental sekali dengan nuansa rutinitas. Bagi SMK-SMK yang menyebut dirinya favorit, alasannya cukup klasik, “tanpa promosi saja, jumlah pendafatarnya membludak. Lagian promosi itu kan mahal biayanya”. Klaim jumlah pendaftar yang membludak bagi SMK-SMK tersebut bisa jadi benar adanya. Tetapi mereka tidak menyadari bahwa dari sekian banyak pendaftar tersebut, hanya sedikit sekali yang memenuhi kriteria yang saya sebutkan di atas yaitu memiliki kemampuan yang bisa diandalkan baik dari segi intelektual maupun finansial. Jangankan memenuhi keduannya, memilki salah satunya saja, misalnya intelektual di atas rata-rata, cukup sulit kita dapatkan.
Soal promosi yang disinyalir biayanya mahal, bisa jadi benar bisa juga tidak, tergantung bagaimana kita mensiasatinya. Salah satu jenis promosi yang menurut saya murah biayanya, relatif mudah kita lakukan serta belum banyak yang menggarapnya adalah melakukan presentasi ke berbagai sekolah menengah pertama/SLTP-SLTP favorit dimana SMK tersebut dioperasikan. Kenapa SLTP favorit ? Karena biasanya di situlah gudangnya anak-anak yang memiliki kedua kualifikasi yang saya sebutkan di atas. Lalu isi presentasi kita itu apa ? Jangan lupa yang namanya promosi pastilah kita menyuguhkan kelebihan kita dan pastikan bahwa kelebihan itu tidak dimiliki oleh competitor kita. Misalnya, pola pendidikan di SMK yang sejak dini menyiapkan siswanya untuk 2 tujuan sekaligus; terjun di dunia kerja dan melanjutkan studi, sementara di SMA tidak secara sistematis menyiapkan mereka untuk terjun ke bidang tersebut. Masih banyak lagi keungulan-keunggulan kita yang bisa kita angkat ke permukaan misalnya, pengimplementasian ICT, TOEIC Test, dll.
Cara yang lain yang bisa kita tempuh untuk memperkenalkan keunggulan-keunggulan SMK kepada publik adalah dengan melakukan ‘Open House’ bagi masayarakat umum di sekitar kita. Sejauh ini saya amati di kota Balikpapan khususnya, belum ada satupun SMK yang berani ‘menampilkan’ dirinya ke publik dengan menyuguhkan berbagai kelebihan yang ia miliki.

B. PENDAFTARAN SISWA BARU
Disamping dilakukan seperti biasanya, artinya siapa yang datang itulah yang didaftarkan, SMK juga bisa ‘menjemput bola’ melalui rekrutmen siswa baru secara khusus. Katakanlah seperti di perguruan tinggi ada program yang namanya Pemilihan Bibit Unggul Daerah-PBUD. Kenapa kita tidak menerapkan pola ini ? Bagi anak-anak yang memiliki kemampuan di atas rata-rata tetapi kemampuan finansialnya tidak begitu mendukung, bisa saja belajar secara gratis di SMK melalui program subsidi silang.

C. PROSES SELEKSI
Pada fase ini diharapkan pengelola SMK tidak hanya menyeleksi kemampuan intelektual dan finasial calon siswa tetapi juga minat (keinginan dia setelah tamat SMK; mau bekerja atau melanjutkan studi ke Perguruan tinggi) serta bakat yang dimilki oleh anak tersebut. Ini merupakan awal dari program pemetaan, pengembangan dan penelusuran karir bagi setiap siswa pada saat masuk/rekrutmen sebagai siswa baru di SMK. Dengan cara ini kita bisa mengetahui dengan pasti apa yang dibutuhkan dan selayaknya kita berikan bagi mereka sejak mulai duduk di bangku SMK hingga mencapai apa yang telah didasain bagi mereka sebelumnya.
Bagi siswa yang memiliki kemampuan dan kemauan untuk melanjutkan studi selepas SMK, pihak sekolah dapat memberikan penanganan khusus berupa kurikulum tambahan yang bisa mendukung keinginan mereka tersebut, selain pelajaran-pelajaran keahlian sesuai dengan jurusan mereka masing-masing.

Dengan menerapkan ketiga pola di atas, pihak SMK akan mampu mendapatkan tidak hanya calon-calon siswa yang memiliki kemampuan intelektual dan financial yang bisa diandalkan, tetapi juga calon-calon siswa yang telah memperoleh kepastian akan karir mereka setelah menyelesaikan pendidikannya di SMK.

3. Disamping mengkomunikasikan keberdaan SMK melalui promosi di awal tahun ajaran, proses ini harus tetap dilakukan secara terus menerus melalui berbagai even seperti hearing dengan pengambil kebijakan, berpartisipasi dalam berbagai even baik local maupun nasional seperti Promosi Kompetensi Siswa dan acara-acara lainnya. Dengan melakukan komunikasi secara terus-menerus diharapkan pada akhirnya masyarakat akan menyadari bahwa sesungguhnya bayak sekali kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh SMK dan itu tidak dimiliki oleh lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Ini tentu akan memberi pencerahan pada perspektif yang telah mewarnai pandangan masyarakat kita sehingga pada akhirnya mereka akan berkata SMK memang layak menjadi PILIHAN PERTAMA putra-putri saya untuk menuntut ilmu. Semoga !
Balikpapan, April 2005
Penulis,
Syamsul Aematis Zarnuji
Direktur English Training & Testing Center – ETTC Kota Balikpapan
Staf Pengajar Politeknik Balikpapan/SMK Negeri 1 Balikpapan
Telp. +62 542 761941 (office) 877635 (home)
Fax. +62 542 761985
Mob. 0811531471
E-mail : syamsul_etc@yahoo.com

COMPUTER-MEDIATED COMMUNICATION (CMC) IN TEACHING ENGLISH AS A SECOND/FOREIGN LANGUAGE

ABSTRACT
This paper is intended to discuss how computer-mediated communication, focusing on emailing and chatting platforms can work in assisting process of learning and teaching English as a second or foreign language (ESL/EFL).

Through a comprehensive study on some related literatures combined with writer’s empirical experiences in using them, it is found that emailing and chatting can help teachers and students in teaching and learning ESL/EFL both in its lingual and non lingual aspects. In lingual aspects, teachers may use them in teaching writing and speaking skills as well as social cultural values or customs of those speak the language. In non lingual aspects, furthermore, teachers may immersed teaching computer operating skills to the ESL/EFL teachnings so that the teacher’s and student’s computer literacy may get improved.

Although the implementation of the two sophisticated virtual tools can be of a help to teach both lingual and non lingual aspects of ESL/EFL, the use of these tools may not optimally work in teaching them due to the disappearance of human’s non verbal language, students’ tendency to deviate the use of the language and the occurance of computerizing technical problems when implementing them. It is, therefore, sugested that the use of the tools is to be implemented in upper elementary classes in which the students’ English proficiency is adequate enough to support the teaching and learning process, and under such circumstances; proper guidelines in language use and having the mediating tools technically well prepared.

In recent years there has been a growing interest in the potential use of computers as an aid to mediate a language teaching and it has been implemented in a wide range of applications such as ‘stylistic studies ‘, ‘lexicography’, ‘textual editing’ as well as the ‘preparation and presentation of language teaching material’ (Butler,1985, p.29-35, Cook, 1985, p. 13,). In teaching English as a second/foreign language-ESL/EFL, for instance, the use of computers is relatively new for some ESL/EFL teachers and it might be manifested interactively in some different ways. One of them is that by employing what it is called as ‘computer-mediated communication-CMC’ (Bonnet, 1997 p. 146, Almeida d’Eca, 2003).

WHAT IS COMPUTER-MEDIATED COMMUNICATION ?
In order to deeply comprehend what a computer-mediated communication is, it is very important to firstly make a clarification about the two terms; computer and communication. Gilmour (1995, p. 174, 179) explains that computer is “an electronic device that process data according to a set of instructions”. Communication, in addition, is an action of “exchanging (thoughts) or make known (information or feelings) by speech, writing or other means”. In relation to the definitions, Hornby (1995, p. 230, 235) defines the two terms similarly to what Gilmour interprets. He states that computer is “an electronic device for storing and analysing information fed into it, for calculating, or for controlling machinery automatically”. Communication, furthermore, is “the action or process of communicating”.
Having understood the two terms, it is clear now that computer-mediated communication is used to refer to an action or process of communicating, exchanging or making known of thoughts, feelings or information by speech, writing or other means which is mediated by an electric device based on a set of instructions given to it. As it is an action or process of communicating or exchanging information which is primarily done by speech and/or writing, the electronic device used to create it needs to have minimal functions; to mediate the users in creating the messages and as a network(s) for sending and receiving the messages at any time and across distances (Johnson, 1991, p. 74) The technology that makes it possible to occur is known as “internetworking; it creates a universality among disparate systems, enabling the networks and computers to communicate” (Laquey, 1994, p. 5).
Internetworking consists of a set of application programs that enables ESL/EFL teachers to optimize its use in teaching English as a second or foreign language. Two of the internet application programs are ‘electronic mail’ and ‘synchronous communication tool which is commonly known as chat platform’ (Gilster, 1993 p.21, Almeida d’Eca, 2003, p.1).

ELECTRONIC MAIL AND ITS APPLICATION IN ESL/EFL TEACHING
Electronic mail or it is often called email is a ‘software programme’ which is able to deliver visual or digital written-based messages from senders to receivers using computer internetworking as its medium. There are basically three categories of an emailing system is currently used; ‘facsimile’, ‘communicating word processors’ and ‘computer-based message system’. Each of the system has its own functions and communicating word processors nowadays get most attention from users. It is because they can be implemented in ‘intra office’ and ‘inter office’ so that it enables the users to send messages locally and around the world (Caseel & Jackson, 1981, p. 541-542, Gilster, 1993, p. 129-131, Barta, 1993 p. 325, Laquey, 1994, p. 47, Kurshan, 1994, p. 11-13).
As emailing is a ‘fast and efficient’ way of communicating visual or digital written-based messages using worldwide computer internetworking system as its mediator (Caseel & Jackson, 1981, p. 542, Quarterman & Mitchell, 1994, p. 1), its functions might be more than just sending and receiving mails but there must be a possibility to use it in assisting ESL/EFL teachers and students to teach and learn particular writing skills in an authentic way in which it involves interest, motivation and societal and cultural values of theirs. Liaw (2003, p. 7-8) reported that the use of email correspondence between Taiwanese EFL student teachers; those who are being trained to be EFL teachers, and ESL pre-service teachers in the U.S. had fostered cross cultural understanding among them.
In teaching particular skill like writing English application letters, for instance, the use of email as a part of computer worldwide internetworking system might assist teachers and students to work on an authentic teaching and learning materials and in an authentic way; efficient and effective so that it produces better output (Zarnuji, 2003, p. 17). It is quite reasonable as in a particular situation, the teachers and students are not only supposed to teach and learn how to write but also how to reply the application letters using authentic materials. As it is fairly difficult to find such materials in countries where English is not spoken as a first or formal language, many ESL/EFL teachers and students find difficulties in accessing the materials. By using email in which at the same time the internetworking system is online, the teachers can ask the students to access some sorts of job occupancy advertisements from any websites and take them as references for practising to write and reply application letters.
Another sort of email application in ESL/EFL teaching might exist in students’ involvement in an English ‘mailing list’ group. In this virtual correspondence club, the teachers’ control might be very limited so that the students can freely share whatever they want to such as their hobbies, interests, study plans and even personal feelings with others using English as a medium of communication. As what the students communicate is not limited in a particular area, but it spreads at a wide range of fields and disciplines and it is closely related to their lives, the use of email in this particular way might give additional values on the ESL/EFL learning and teaching.

CHATTING AND ITS APPLICATION IN ESL/EFL TEACHING
Basically there is no significant distinction on the use of a ‘chat platform’ compared to the implementation of email in teaching English as a second or foreign language. The difference is only relying on the computer-based operating modes belong to them. Unlike email, chat platform can be operated not only in a ‘text chat’ mode but also in ‘audio’ and ‘video’ modes. Chat text-based mode, however, is faster in its speed compared to email and the most widely used in education nowadays (Almeida d’Eka, 2003, p. 2). As each of the three modes has its own eases and difficulties to operate and video is the latest and the most ‘complicated’ one to work with, the discussion about this will be focused only on the two modes; text and audio-based chatting.
Text and audio-based chatting is a ‘two-way form’ of computer-mediated communication which involves minimally two people as writers and speakers who interchangeably keyboard and converse a dialogue in every time they want to, using online internetworking system. Since the communication can be done by writing and speaking to native or non-native English speakers and in every time they need to through worldwide online internetworking system, the use of chat platforms might assist ESL/EFL teachers to teach ESL/EFL writing and speaking effectively and efficiently.
One of the implementation of using text and audio-based chatting to teach the two skills might be manifested in doing assigned task of ‘collaborative writing’ (Johnson, 1991, p. 72-73, Light & Littleton, 1998, p. 12, Almeida d’Eka, 2003, p. 3). It is not uncommon for an EFL teacher to teach particular skills of English in more than one school and give the students same tasks about them. In term of doing collaborative writing, the teacher, under some circumstances, might suit the instruction in order that the students do the task collaboratively with others from different schools. To facilitate them to fast and efficiently share and brainstorm the ideas they are going to write, the text and audio-based chatting might be employed.
Similarly to the use of email in a mailing list group, text and audio chatting can also be implemented in an English ‘independent’ chatting group; a group in which the students create it by themselves and get involved in it under teachers’ guidance but without strict rules or controls from them. In this sort of virtual chatting club, the students can share whatever they want to, write and speak to other people at any parts of the world and at relatively the same time they can respond or receive responses from them.

ADVANTAGES
In teachers and students perspective, the use of emailing and chatting platforms in teaching English as a second or foreign language can bring some advantages. One of them is associated with authenticity of teaching materials. As they are virtually accessible just in a particular time but in plenty number of choices, there must be a guarantee that at the moment some or even many of them are becoming parts of our lives. In accessing the materials, moreover, the students can mostly do it themselves independently so that they can choose whatever the materials that suit their real lives, interests and motivation to work with them. Preparing teaching materials in this way, therefore, can create authenticity of the materials in which it is one of the very important aspects to consider in teaching English as a second or foreign language.
As the authenticity of the materials is guaranteed and the way the teachers and students teach and learn them is different from the conventional one, many or even most of them might put great interest on the particular lessons. The teaching and learning process through this way, therefore, can give good impact on the improvement of the students’ language writing and speaking skills.
In accordance to the use of emailing and chatting platforms, the students might also acquire additional skills other than language skills. As the main parts of assisting tools used in emailing and chatting are computers and internetworking systems, the students might coincidently study some computerizing and virtual skills when they are working with them. As a result, they are not only capable in English writing and speaking but also in computer literacy.
Another advantage of using the virtual programmes exists in cross cultural understanding. It is undeniable that many teachers might get difficulties in introducing the students a certain value of cultures or customs of those who speak English as their native language. It is due to the limited access to get appropriate literatures or references particularly in the countries in which English is thought as a second or foreign language. Apart from it, it is believed that the best reference for studying these particular things is by socializing with those who speak the language. For that reason, emailing and chatting, therefore, can create opportunity to socialize with them without having to physically contact them and finally the values of their cultures and customs can be learned authentically.

DISADVANTAGES
The disappearance of human’s non-verbal language is one of the disadvantages of using emailing and chatting platforms in ESL/EFL teaching. Because the two virtual communication facilities are operated in text and audio-based modes, it is impossible for the students to fully understand what their corresponding or speaking partners are communicating about. In term of managing oral communication, speaking while employing eye contacts, mimes, gesture or body movement will certainly give better impact in understanding what is being communicated, compared to the audio-based one. Consequently the communicators have to accurately and clearly state what they manage to communicate.
Another disadvantage of using emailing and chatting platforms in ESL/EFL teaching is associated with students’ tendency to deviate the language use from the standard or norm. When the students get involved in this virtual lines, their privacy is confidentially protected so that they can express whatever they want. Besides that, communicating with these two facilities need them to work fast. As a result, the students might create particular language symbols as they like and try to speculate or experiment ‘uncommon’ ways of using the language. Using too many slangs and over simplifying words or phrases are two of them. Amaida d’Eka (2003, p. 5) reported that A 13 year old Scottish girl, for example, once wrote a composition to her teacher stated as “My smmr hols wr CWOT. B4, we used 2go2 NY 2C my bro, his GF & thr 3 :-o kds FTF.ILNY, it’s a gr8 plc.” (Decoded text : “ My summer holidays were a complete waste of time. Before, we used to go to New York to see my brother, his girlfriend and three screaming kids face to face. I love New York, it’s a great place.”
In addition, technical problems might also be categorized as disadvantages of implementing emailing and chatting platforms in ESL/EFL teaching. As the two virtual communication facilities are complimentary tools and operated in a ‘fairly’ complicated technology, it would be possible that while the teaching and learning process is in progress, the tools do not work as they are instructed to. As a result, it will trouble the teaching ‘scenario’ that the teachers have prepared (Skehan, 1985, p. 5)

CONCLUSSION
The use of computer-mediated communication, focussing on emailing and chatting platforms has been significantly implemented in a wide range of English as a second or foreign language teaching. Some of the implementations might be found in linguistic and non-linguistic aspects. In linguistic aspects, emailing and chatting can be used to teach writing and speaking skills; whereas, in non-linguistic aspects, they are applicable to introduce and teach the students particular social values and customs of those who speaks the language. As the teaching and learning process is mostly done on the basis of person-to-person computer-based interaction, the students might acquire not only English language skills but also computer literacy.
The implementation of the two sophisticated virtual tools does not only bring advantages to the ESL/EFL teaching but also disadvantages which are associated with the disappearance of human’s non verbal language, students’ tendency to deviate the use of the language and computerizing technical problems. Realizing these phenomena, it is, therefore, recommended that the use of these tools might work optimally if it is implemented in upper elementary classes in which the students’ English proficiency is adequate enough to support the learning process, and under such circumstances; proper guidelines in language use and having the mediating tools technically well prepared.


REFERENCES
Almeida d’Eka, T. 2003, ‘The Use of Chat in EFL/ESL’, Teaching English as a Second or Foreign Language [online], vol. 7 no. 1, Available from URL: http;//writing.barkeley.edu/TESL-EJ/ej25/int.html [Acessed 10 June 2003]

Barta, B.Z. (ed.), 1998 Computer Mediated Communication of Information Technology Professional and Advanced End-Users, Elsevier Science Publisher, Amsterdam.

Bonnet, M. 1997, Computers in The Classroom : Some Values Issues in McFarlane (ed.) Information Technology and Authentic Learning, Routledge, New York.

Butler, C. 1985, Computers in Linguistics, Basil Blackwell Ltd., Oxford.

Cassel, D. & Jackson, M. 1981, Introduction to Computer and Information Processing, Reston Publishing Company Inc., Virginia.

Cook, V.J. 1985, Bridging the Gap Between Computers and Language Teaching in Brumpit, C.J. & Philips, M. (ed.) Computers in English Language Teaching, Pergamon Press and The British Council, Oxford.

Gilmour, L. (ed.) 1995, Collin Coincise Dictionary & Theasaurus, Harper Collins Publishers, Great Britain.

Gilster, P. 1993, The Internet Navigator, John Wiley & Sons, Inc., Canada.

Honrby, A.S. 1995, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, 5th Edn, Oxford University Press, Great Britain.
Australia, 17 November 2003
Penulis,
Syamsul Aematis Zarnuji
Student of Gradcert. in TESOL-Teaching English for Speakers of Other Languages
The University of Southern Queensland-USQ
Toowoomba, Australia