Thursday, February 07, 2008

GURU BRILIAN BUKANLAH JAMINAN-Bagian 2 (habis)

Sebagai seorang guru, hati saya terasa miris ketika salah seorang kawan saya mengatakan kepada saya kalau seandainya semua guru-guru kita di negeri ini memiliki kualitas yang bagus maka selesailah perkara carut marut pendidikan kita ini. Dia begitu yakin dengan kepintaran dan kecakapan seorang guru dalam mengubah wajah pendidikan kita. Sampai-sampai ia berkata, “kalau gurunya sudah pintar, cakap dan terampil, biar kurikulum dan fasilitas belajarnya tidak bagus, hasilnya dijamin pasti bagus”. Saya lalu bertanya kepadanya, “guru-guru yang berkualitas itu seperti apa sih ? “ “Tentu guru-guru yang memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan yang bagus terkait dengan tugasnya sebagai guru”, jawabnya. Saya makin penasaran dengan cara pandang kawan saya ini. Saya pikir mungkin ada sesuatu yang baru yang bisa saya peroleh darinya mengingat dikalangan para pendidik dia sering ditokohkan sebagai seorang yang punya visi yang sangat brilian tentang dunia pendidikan kita. Makanya saya melanjutkan pertanyaan saya. “Menurut anda, kualitas guru-guru kita saat ini seperti apa sih ?”, tanya saya. “Wah.. kalau soal itu anda juga tau. Kualitasnya jau dari apa yang diharapkan”, timpalnya. “Lalu, apa yang harus kita lakukan ? “, tanya saya kembali. Dengan berapi-api dia menjelaskan. “Benahi LPTK-LPTK kita. Benahi kurikulum serta sistem pendidikan dan pelatihannya. Buat program-program yang bisa menarik minat generasi muda kita yang berprestasi, pintar dan brilian untuk masuk ke LPTK-LPTK tersebut dan pekerjakan dosen-dosen berkelas super untuk mendidik dan melatih mereka. Dengan cara itu kita tentu akan mendapatkan guru-guru yang mupuni”, urainya.

Memang sangat masuk akal. Jika kita ingin memiliki guru-guru yang berkualitas, brilian, mumpuni atau apalah istilah yang mau kita gunakan untuk menunjukkan tingkat ‘kehebatan’ atas kemampuan dan kecakapan guru-guru tersebut maka pendekatan formal yang paling ideal yang harus kita lakukan adalah persis seperti yang diuraikan oleh kawan saya di atas. Pertanyaanya kemudian adalah apakah dengan memiliki guru-guru yang mumpuni tersebut bahkan didukung dengan kurukulum dan fasilitas belajar yang baik dan sangat memadai lalu serta merta hasil dari proses pendidikan kita akan baik pula atau carut marut dunia pendidikan kita ini akan terselesaikan ?

Hemat saya, tidaklah demikian. Guru yang brilian hatta pun ditambah dengan kurikulum yang baik serta fasilitas yang sangat memadai bukanlah semata-mata jaminan untuk memperoleh hasil pendidikan yang berkualitas yang oleh karenannya carut-marut pendidikan kita di negeri ini serta-merta akan terselesaikan. Sayangnya, seringkali fokus perhatian kita tertuju hanya pada tiga aspek tersebut; guru berkualitas, kurikulum yang baik dan fasilitas yang memadai manakala kita berbicara soal penyelenggaraan pendidikan. Sepertinya kalau ketiga aspek tersebut telah dipenuhi maka selesailah urusan perbaikan kualitas pendidikan tersebut. Kita lupa bahwa masih ada aspek-aspek fundamental lain yang harus dikelola dengan baik jika kita menginginkan ketiga faktor di atas mampu memberi efek yang signifikan dalam memperbaiki kualitas pendidikan di negeri ini. Apalagi hanya berharap dari sebuah profesi guru walaupun memiliki kepandaian dan kecakapan yang sangat bagus. Lho, “bukankah guru itu sama dengan koki ?. Biar bahan bakunya tidak bagus kalau koki terserbut pintar meracik bumbu-bumbunya, pasti makanannya jadi lezat ”, kata kawan saya.
Logika tersebut 100 persen benar. Tapi jangan lupa bahwa bahan yang diracik oleh kedua orang yang memiliki profesi yang berbeda tersebut memiliki karakteristik yang amat sangat berbeda pula. Yang satu, biar di potong, dicincang atau diulek kalau nggak punya blender, tetap saja merem sedangkan yang lainnya, boro-boro mau dipotong, baru disentil saja sudah ngacir. “You can take the horses to the river but you can’t make them drink !” Karena karakteristik yang berbeda ini pula maka hasil yang akan diperoleh dari perlakuan terhadapnya pun akan berbeda walaupun dilakukan dengan cara yang sama. Oke … oke… “let’s just forget it !” saya kira ini bukan ‘case’ yang ingin saya sampaikan. Yang mau saya katakana adalah bahwa seorang guru yang memiliki kemampuan dan kecakapan yang bagus yang merupakan hasil dari sebuah proses ‘revolusi’ terhadap sistem penyelenggaraan LPTK kita tidak serta merta guru tersebut akan mampu dan/atau mau mewujudkannya [to perform] sebaik kemampuan dan kecakapan yang ia miliki ketika ia sudah menjadi seorang guru. Padahal yang bisa mengubah ‘wajah’ pendidikan kita ini bukan tergantung pada seberapa bagus ilmu dan keterampilan keguruan yang dimiliki oleh guru-guru kita tetapi lebih jauh daripada itu, dan ini yang lebih penting, adalah terletak pada seberapa bagus guru-guru kita telah melaksanakan tugas keguruannya tersebut.

Ketika kita berbicara sistem penyelenggaran LPTK kita dan berbagai aspek ikutan yang mendukung pengimplementasian sistem tersebut maka sebenarnya kita hanya berbicara soal ilmu pengetahuan dan keterampilan keguruan para guru kita, bukan seberapa bagus guru-guru kita telah melaksanakan tugas keguruannya. Padahal yang terakhir yang saya sebutkan inilah yang menentukan hitam putih wajah pendidikan kita. Percuma guru-guru kita mumpuni dari segi keilmuan dan keterampilan mengajarnya tetapi dalam mengajar mereka tidak mampu/mau melakukan sebaik ilmu dan keterampilan yang dikuasainya. Lho.. kok bisa ? Bukankah kalau ilmu dan keterampilan guru-guru kita sudah mumpuni maka mengajarnya juga mumpuni ?

Jawabnya tidak selalu demikian. Ada faktor lain yang amat sangat mempengaruhinya. Salah satu diantaranya adalah sistem yang menopang pelaksanaan tugas para guru tersebut ketika mereka telah diamanhkan tugas keguruan di pundaknya. Kalau sistemnya, mohon maaf, memble alias tidak kompetitif maka praktis para guru tersebut tentu akan mengajar sekena hati. Mereka tidak terpacu untuk mengeluarkan segenap kemampuan yang mereka miliki karena perlakuan ‘user’ terhadap mereka yang mengajar dengan baik bahkan melebihi standar yang telah ditetapkan tidak berbeda denagan atau lebih baik daripada mereka yang mengajar apa adanya bahkan jauh di bawah standar minimal. Mereka juga tidak terpacu untuk mengembangkan dirinya untuk ‘perform’ lebih baik. Justru apa yang telah diperoleh ketika masih di LPTK dulu kini lambat laun semakin memburuk, pudar bahkan hilang ditelan keengganan dan ‘kemalasan’nya. Hemat saya, baik buruknya sistem ini akan sangat mempengaruhi seberapa baik tugas-tugas keguruan yang akan dilaksanakan oleh para guru di tingkat akar rumput dan oleh karennya pula akan mempengaruhi kualitas pendidikan kita. Malah saya menduga, jika sistem di tataran implementasi ini berjalan dengan baik dalam atmosfir yang sangat kompetitif maka optimalisai kualitas pendidikan kita akan mampu kita capai walaupun di-back up oleh lulusan LPTK yang kualitasnya kurang baik. Mengapa ? Karena sistem tersebut tentu akan bekerja dengan sendirinya dalam rangka mengubah ‘mindset’ dan gairah kerja serta usaha para guru tersebut dalam mengubah dirinya menjadi lebih baik. Mereka akan terpacu untuk mencari sumber-sumber ilmu baru yang bisa menopang tugas keguruan yang diembannya dalam rangka tampil [perform] lebih baik bahkan terbaik di antara guru-guru lainnya.

Program sertifikasi guru, secara filosofis, sebenarnya telah menyentuh dan masuk ke ranah yang saya uraikan di atas. Namun sayang, dalam tataran implementatif, saya melihat belum berada pada jalur yang benar. “We are not on the right track and I’m sorry to say that !”. Dari pengamatan saya, penilian kinerja guru yang dilakukan hanya melalui porto folio sama sekali tidak mengubah watak dan prilaku guru secara substansial terkait dengan usaha-usaha mereka untuk memperbaiki kemampuan mengajarnya apalagi pelaksanaannya di dalam kelas. Yang berubah hanyalah gairah mereka untuk mengumpulkan sertifikat dan surat keterangan sebanyak-sebanyaknya hattapun dilakukan dengan cara memanipulasi data orang lain.

Sebagai penutup saya ingin katakan sekali lagi bahwa guru yang brilian, guru yang mumpuni, guru yang berkualitas atau guru yang memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan yang sangat tinggi yang merupakan hasil dari sebuah proses revolusi terhadap sistem penyelenggaaraan LPTK kita tidaklah serta merta akan mampu mengubah wajah pendidikan kita karena yang bisa mengubahnya bukan seberapa bagus ilmu pengetahuan dan keterampilan keguruan yang dimiliki oleh para guru kita tetapi lebih jauh daripada itu, dan ini yang lebih penting, adalah terletak pada seberapa baik para guru tersebut telah mampu melaksanakan tugas keguruannya ketika kelak mereka menjadi guru. Oleh karenanya dibutuhkan sebuah sistem yang dapat mendorong agar mereka mampu dan/atau mau melaksanakan tugas keguruan yang diembannya sebaik ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dikuasainya.

Guru yang brilian, guru yang mumpuni, guru yang berkualitas atau guru yang memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan yang sangat tinggi tentang tugas-tugas keguruan yang diembannya tentu tetap diperlukan. Tetapi jika hal tersebut tidak disertai dengan penataan sistem yang mampu menopang kondusifitas dan suasana kompetitif dalam pelaksanaan tugas-tugas mereka kelak ketika mereka berada di dalam kelas maka saya khawatir apa yang mereka lakukan bagi anak-anak didiknya tidaklah sebaik apa yang mereka tau dan bisa lakukan. Semoga tidak demikian adanya.

Balikpapan, 8 Februari 2008

Syamsul Aematis Zarnuji
Praktisi Pendidikan
T : +62 542 877 635
M : +62 811 531 471
E : szarnuji@yahoo.com
W : www.zarnuji.blogspot.com

No comments: